Pada Munas II di Jakarta tahun 2010 lalu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagai satu-satunya partai yang secara eksplisit menjadikan Tauhid sebagai falsafah organisasi, resmi memproklamirkan finalisasi Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila, merupakan dasar negara yang difungsikan sebagai sumber dasar hukum negara dan sumber tertib tata hukum dan urutan perundang-undangan Indonesia yang ditegaskan dalam TAP MPR II/MPR/2000.
Hal ini tentu tak lepas dari pro dan kontra yang terjadi di kalangan kader dan simpatisan ataupun masyarakat umum, karena saat itu banyak yang menilai PKS telah berubah ‘warna’nya atas keputusan ini. Ada pihak yang menilai PKS telah ‘berbalik arah’ karena ketika masa orde baru kalangan aktivis tarbiyah, sebagai under-bow PKS, sangat ‘mengharamkan’ Pancasila. Hal ini dikarenakan Pancasila dianggap sebagai thaghut (setiap sesuatu yang melampui batasannya, baik yang disembah (selain Allah SWT), atau diikuti atau ditaati (jika dia ridha diperlakukan demikian)), dan ketika PKS telah masuk ke dalam tubuh pemerintahan, anggota PKS yang notabene adalah kalangan tarbiyah pada akhirnya telah menyetujui thaghut Pancasila.
Hal ini telah dijawab oleh ketua Majelis Syuro PKS, Ust Hilmi Aminuddin, bahwa yang ditolak di zaman orde baru itu yakni masalah tafsir tunggal soal Pancasila, karena pada saat itu Pancasila didominasi suatu kelompok untuk menafsirkan secara nasional. Diharapkan tanpa adanya tafsiran tunggal, orang Islam dapat menafsirkan Pancasila menurut versi Islam. Orang Kristen, Hindu, Katolik sesuai tafsirnya sendiri-sendiri, biarkan PKS menafsirkan sendiri.
Senada dengan jawaban ketua Majelis Syuro PKS, keputusan PKS untuk mengakui sebagai Pancasila juga sesuai dengan salah satu cabang ilmu syariah dalam Islam, yaitu Maqasid Syariah.
Pancasila dari perspektif Maqasid Syariah (Tujuan Syariah)
Secara terminologi, menurut Imam as-Syatibi, Maqasid Syariah merupakan tujuan hukum yang diturunkan Allah SWT, atau penjabarannya adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hukum Islam yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Untuk dapat mengetahui tujuan hukum tersebut dapat ditelusuri lewat teks-teks al-Qur’an dan as-sunnah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia.
Maqasid Syariah ini, juga merupakan metode yang dikembangkan untuk mencapai dari dilaksanakannya syari’ah yaitu kemaslahatan umat manusia, bagi Imam as-Syatibi kemaslahatan yang hendak diwujudkan itu terbagi kepada tiga tingkatan,yaitu kebutuhan daruriyyah, kebutuhan hajiyyah dan kebutuhan tahsiniyyah.
Kebutuhan Daruriyyah adalah tingkatan kebutuhan yang harus ada atau disebut sebagai kebutuhan primer. Bila dalam tingkatan kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan terancam kemaslahatan seluruh umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Menurut Imam as-Syatibi, ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu; memelihara agama (hifd al-din), memelihara jiwa (hifd al-nafs), memelihara akal (hifd al-aql), memelihara keturunan (hifd al-nasl), dan yang terakhir adalah memelihara harta benda (hifd al-mal).
Dalam Pancasila, termaktub sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dari perspektif Maqasid Syariah jelas sila pertama dalam Pancasila merupakan sila yang mendukung seluruh warga negara khususnya Ummat Islam dalam memeluk agama Islam, yaitu memelihara agama (hifd al-din). Bahkan, dapat ditafsirkan sila pertama dalam Pancasila merupakan sila yang sesuai dengan nilai Ketauhidan dalam Islam, karena Maha Esa adalah Maha Tunggal (Ahad) yang berarti hanya dapat ditujukan kepada Allah.
Sedangkan dalam sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), ketiga (Persatuan Indonesia), keempat (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan,Dalam Permusyawaratan Perwakilan) dapat merangkum atas kebutuhan jiwa (hifd al-nafs), akal (hifd al-aql), dan keturunan (hifd al-nasl), kemudian memelihara harta benda (hifd al-mal) dapat tercapai dari sila kelima (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia).
Kebutuhan Hajiyyah adalah ialah kebutuhan sekunder, dimana dalam tingkatan ini bila kebutuhan tersebut tidak dapat diwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami hambatan dan kesulitan. Misalnya untuk melaksanakan ibadah shalat sebagai tujuan primer maka dibutuhkan berbagai fasilitas misalnya masjid, tanpa adanya masjid tujuan untuk memelihara agama (hifd al-din) tidaklah gagal atau rusak secara total tetapi akan mengalami berbagai kesulitan. Dari sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, maka pemerintah wajib mengusahakan dan membuat kebijakan untuk pembangunan rumah-rumah ibadah.
Kebutuhan Takhsiniyyah, ialah tingkatan kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi tidak akan mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak menimbulkan kesulitan. Tingkatan kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap atau tertier.Menurut Imam as-Syatibi pada tingkatan ini yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat. Sebagai contoh dalam tingkatan kebutuhan ini adalah apakah masjid yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kebutuhan daruriyyah yakni memelihara agama melalui ibadah shalat, dalam bentuk arsitekturnya baik dalam design eksterior atau interior itu akan diperindah sesuai dengan taraf perkembagan kebudayaan lokal.
Dalam hal ini, jelaslah bahwa dengan prinsip Maqasid Syariah, bagaimana nilai-nilai yang terkandung (substansi) dari Pancasila sejalan dengan syariat islam dengan mengutamakan azas kemaslahatan yang merangkul seluruh warga negara.
Konsep Musyarakah (Partisipasi Politik) dalam Bernegara
Dalam Platform Pembangunan PKS, Partai ini mempunyai visi yang jelas dalam Mewujudkan masyarakat madani yang adil, sejahtera, dan bermartabat yaitu dengan menerjemahkan dan melaksanakan nilai-nilai Islam dalam kebijakan publik yang ada dalam rangka Islamisasi kehidupan dan menegakkan nilai-nilai Islam.
Inilah yang kita kenal dengan Musyarakah (partisipasi politik) dengan mengikuti koridor Hukum dan tata negara yang berlaku di Republik Negara Indonesia, yaitu dengan menginternalisasi nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kenegeraan di negara yang mayoritas warga negaranya menganut agama islam baik dalam mimbar parlemen maupun pemerintahan
Sejalan dengan hal ini, Bung Hatta, proklamator Indonesia. Dalam pandangannya, beliau lebih mengedepankan isi atau substansi daripada format atau bentuk. Jadi tak perlu digemborkan judul ‘Negara Islam’ yang lebih terpenting adalah substansi kenegaraan sudah sesuai dengan syariat islam.
Visi PKS, jelas diwujudkan tanpa ‘melabrak’ konstitusi yang berlaku di NKRI, karena seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, konstitusi dasar NKRI yaitu Pancasila sudah sesuai dengan nilai syariah Islam (Maqasid Syariah). Sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Ustd Hilmi Aminuddin, jelaslah bahwa posisi Pancasila sebagai common platform atau rujukan bersama dalam lingkup kebangsaan di Indonesia yang memiliki berbagai macam suku, agama, golongan dan ras, sesuai dengan Maqasid Syariah sebagai salah satu cabang dalam ilmu Syariah islam.
Jikalau PKS dengan serta merta menolak Pancasila sebagai dasar negara RI yang sudah lahir sejak hampir 66 tahun yang lalu, dapat dipastikan gelombang perlawanan yang sangat kencang akan lahir dari segala penjuru negeri. Bahkan bukan tidak mustahil, dengan kekuatan yang ‘belum memadai’ bagi PKS, penolakan terhadap Pancasila hanya akan membuahkan ‘kehancuran’ dalam partisipasi politik di RI.
Anjuran untuk Ummat Islam di Indonesia
Dengan berbagai pertimbangan yang ada, pertimbangan Maqasid Syariah, sudah jelas bagi kita untuk meninggalkan pro – kontra atas sikap terhadap Pancasila. Mari kita berlomba - berlomba – lomba dalam kebaikan (Fastabiqul Khairat) dengan bekerja sebaik mungkin dengan kapabiltas yang kita punya demi terwujudnya bangsa Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.
Dalam menyikapi perbedaan kelompok – kelompok atau partai Islam yang ada di Indonesia, wajiblah bagi kita selaku ummat Islam mengedepankan persatuan Ummat, bukan memecah belah. Jika kita sejalan dengan prinsip ‘Musyarakah-nya PKS’ yang mendukung Panc maka dukunglah, dengan tenaga, pikiran, baik moril ataupun materil. Jika kita tidak setuju dengan cara (metode) ini, maka cukuplah bagi kita berlapang dada atas perbedaan yang ada.
Wassalam
Aji Teguh Prihatno
Daftar Pustaka
Isa anshori (2009). Maqasid Syariah Sebagai Landasan Global. Surabaya : Universitas Muhammadiyah Surabaya.
MPP PKS. Platform Pembangunan PKS. (2008)
Anwar Abbas. Bung Hatta dan Ekonomi Islam. (2010)
Link Referensi
http://pk-sejahtera.org/tentang/Falsafah-Dasar-PKS.pdf
http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/mengapa-tidak-mau-ingkar-kepada-thaghut.htm
http://pkskotamalang.org/ustadz-hilmi-aminuddin-sebuah-penjelasan-lengkap.html
http://www.pks-bekasi.com/edisi01/index.php/component/user/index.php?option=com_content&view=article&id=341:musyarakah-&catid=34:taujih&Itemid=104
http://islampeace.clubdiscussion.net/ushul-fiqih-f1/diskursus-maqashid-al-syariah-dalam-perspektif-ibnu-taimiya-t22.html
http://eprints.undip.ac.id/5886/1/retno.pdf
Hal ini tentu tak lepas dari pro dan kontra yang terjadi di kalangan kader dan simpatisan ataupun masyarakat umum, karena saat itu banyak yang menilai PKS telah berubah ‘warna’nya atas keputusan ini. Ada pihak yang menilai PKS telah ‘berbalik arah’ karena ketika masa orde baru kalangan aktivis tarbiyah, sebagai under-bow PKS, sangat ‘mengharamkan’ Pancasila. Hal ini dikarenakan Pancasila dianggap sebagai thaghut (setiap sesuatu yang melampui batasannya, baik yang disembah (selain Allah SWT), atau diikuti atau ditaati (jika dia ridha diperlakukan demikian)), dan ketika PKS telah masuk ke dalam tubuh pemerintahan, anggota PKS yang notabene adalah kalangan tarbiyah pada akhirnya telah menyetujui thaghut Pancasila.
Hal ini telah dijawab oleh ketua Majelis Syuro PKS, Ust Hilmi Aminuddin, bahwa yang ditolak di zaman orde baru itu yakni masalah tafsir tunggal soal Pancasila, karena pada saat itu Pancasila didominasi suatu kelompok untuk menafsirkan secara nasional. Diharapkan tanpa adanya tafsiran tunggal, orang Islam dapat menafsirkan Pancasila menurut versi Islam. Orang Kristen, Hindu, Katolik sesuai tafsirnya sendiri-sendiri, biarkan PKS menafsirkan sendiri.
Senada dengan jawaban ketua Majelis Syuro PKS, keputusan PKS untuk mengakui sebagai Pancasila juga sesuai dengan salah satu cabang ilmu syariah dalam Islam, yaitu Maqasid Syariah.
Pancasila dari perspektif Maqasid Syariah (Tujuan Syariah)
Secara terminologi, menurut Imam as-Syatibi, Maqasid Syariah merupakan tujuan hukum yang diturunkan Allah SWT, atau penjabarannya adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hukum Islam yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Untuk dapat mengetahui tujuan hukum tersebut dapat ditelusuri lewat teks-teks al-Qur’an dan as-sunnah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia.
Maqasid Syariah ini, juga merupakan metode yang dikembangkan untuk mencapai dari dilaksanakannya syari’ah yaitu kemaslahatan umat manusia, bagi Imam as-Syatibi kemaslahatan yang hendak diwujudkan itu terbagi kepada tiga tingkatan,yaitu kebutuhan daruriyyah, kebutuhan hajiyyah dan kebutuhan tahsiniyyah.
Kebutuhan Daruriyyah adalah tingkatan kebutuhan yang harus ada atau disebut sebagai kebutuhan primer. Bila dalam tingkatan kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan terancam kemaslahatan seluruh umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Menurut Imam as-Syatibi, ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu; memelihara agama (hifd al-din), memelihara jiwa (hifd al-nafs), memelihara akal (hifd al-aql), memelihara keturunan (hifd al-nasl), dan yang terakhir adalah memelihara harta benda (hifd al-mal).
Dalam Pancasila, termaktub sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dari perspektif Maqasid Syariah jelas sila pertama dalam Pancasila merupakan sila yang mendukung seluruh warga negara khususnya Ummat Islam dalam memeluk agama Islam, yaitu memelihara agama (hifd al-din). Bahkan, dapat ditafsirkan sila pertama dalam Pancasila merupakan sila yang sesuai dengan nilai Ketauhidan dalam Islam, karena Maha Esa adalah Maha Tunggal (Ahad) yang berarti hanya dapat ditujukan kepada Allah.
Sedangkan dalam sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), ketiga (Persatuan Indonesia), keempat (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan,Dalam Permusyawaratan Perwakilan) dapat merangkum atas kebutuhan jiwa (hifd al-nafs), akal (hifd al-aql), dan keturunan (hifd al-nasl), kemudian memelihara harta benda (hifd al-mal) dapat tercapai dari sila kelima (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia).
Kebutuhan Hajiyyah adalah ialah kebutuhan sekunder, dimana dalam tingkatan ini bila kebutuhan tersebut tidak dapat diwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami hambatan dan kesulitan. Misalnya untuk melaksanakan ibadah shalat sebagai tujuan primer maka dibutuhkan berbagai fasilitas misalnya masjid, tanpa adanya masjid tujuan untuk memelihara agama (hifd al-din) tidaklah gagal atau rusak secara total tetapi akan mengalami berbagai kesulitan. Dari sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, maka pemerintah wajib mengusahakan dan membuat kebijakan untuk pembangunan rumah-rumah ibadah.
Kebutuhan Takhsiniyyah, ialah tingkatan kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi tidak akan mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak menimbulkan kesulitan. Tingkatan kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap atau tertier.Menurut Imam as-Syatibi pada tingkatan ini yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat. Sebagai contoh dalam tingkatan kebutuhan ini adalah apakah masjid yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kebutuhan daruriyyah yakni memelihara agama melalui ibadah shalat, dalam bentuk arsitekturnya baik dalam design eksterior atau interior itu akan diperindah sesuai dengan taraf perkembagan kebudayaan lokal.
Dalam hal ini, jelaslah bahwa dengan prinsip Maqasid Syariah, bagaimana nilai-nilai yang terkandung (substansi) dari Pancasila sejalan dengan syariat islam dengan mengutamakan azas kemaslahatan yang merangkul seluruh warga negara.
Konsep Musyarakah (Partisipasi Politik) dalam Bernegara
Dalam Platform Pembangunan PKS, Partai ini mempunyai visi yang jelas dalam Mewujudkan masyarakat madani yang adil, sejahtera, dan bermartabat yaitu dengan menerjemahkan dan melaksanakan nilai-nilai Islam dalam kebijakan publik yang ada dalam rangka Islamisasi kehidupan dan menegakkan nilai-nilai Islam.
Inilah yang kita kenal dengan Musyarakah (partisipasi politik) dengan mengikuti koridor Hukum dan tata negara yang berlaku di Republik Negara Indonesia, yaitu dengan menginternalisasi nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kenegeraan di negara yang mayoritas warga negaranya menganut agama islam baik dalam mimbar parlemen maupun pemerintahan
Sejalan dengan hal ini, Bung Hatta, proklamator Indonesia. Dalam pandangannya, beliau lebih mengedepankan isi atau substansi daripada format atau bentuk. Jadi tak perlu digemborkan judul ‘Negara Islam’ yang lebih terpenting adalah substansi kenegaraan sudah sesuai dengan syariat islam.
Visi PKS, jelas diwujudkan tanpa ‘melabrak’ konstitusi yang berlaku di NKRI, karena seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, konstitusi dasar NKRI yaitu Pancasila sudah sesuai dengan nilai syariah Islam (Maqasid Syariah). Sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Ustd Hilmi Aminuddin, jelaslah bahwa posisi Pancasila sebagai common platform atau rujukan bersama dalam lingkup kebangsaan di Indonesia yang memiliki berbagai macam suku, agama, golongan dan ras, sesuai dengan Maqasid Syariah sebagai salah satu cabang dalam ilmu Syariah islam.
Jikalau PKS dengan serta merta menolak Pancasila sebagai dasar negara RI yang sudah lahir sejak hampir 66 tahun yang lalu, dapat dipastikan gelombang perlawanan yang sangat kencang akan lahir dari segala penjuru negeri. Bahkan bukan tidak mustahil, dengan kekuatan yang ‘belum memadai’ bagi PKS, penolakan terhadap Pancasila hanya akan membuahkan ‘kehancuran’ dalam partisipasi politik di RI.
Anjuran untuk Ummat Islam di Indonesia
Dengan berbagai pertimbangan yang ada, pertimbangan Maqasid Syariah, sudah jelas bagi kita untuk meninggalkan pro – kontra atas sikap terhadap Pancasila. Mari kita berlomba - berlomba – lomba dalam kebaikan (Fastabiqul Khairat) dengan bekerja sebaik mungkin dengan kapabiltas yang kita punya demi terwujudnya bangsa Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.
Dalam menyikapi perbedaan kelompok – kelompok atau partai Islam yang ada di Indonesia, wajiblah bagi kita selaku ummat Islam mengedepankan persatuan Ummat, bukan memecah belah. Jika kita sejalan dengan prinsip ‘Musyarakah-nya PKS’ yang mendukung Panc maka dukunglah, dengan tenaga, pikiran, baik moril ataupun materil. Jika kita tidak setuju dengan cara (metode) ini, maka cukuplah bagi kita berlapang dada atas perbedaan yang ada.
Wassalam
Aji Teguh Prihatno
Daftar Pustaka
Isa anshori (2009). Maqasid Syariah Sebagai Landasan Global. Surabaya : Universitas Muhammadiyah Surabaya.
MPP PKS. Platform Pembangunan PKS. (2008)
Anwar Abbas. Bung Hatta dan Ekonomi Islam. (2010)
Link Referensi
http://pk-sejahtera.org/tentang/Falsafah-Dasar-PKS.pdf
http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/mengapa-tidak-mau-ingkar-kepada-thaghut.htm
http://pkskotamalang.org/ustadz-hilmi-aminuddin-sebuah-penjelasan-lengkap.html
http://www.pks-bekasi.com/edisi01/index.php/component/user/index.php?option=com_content&view=article&id=341:musyarakah-&catid=34:taujih&Itemid=104
http://islampeace.clubdiscussion.net/ushul-fiqih-f1/diskursus-maqashid-al-syariah-dalam-perspektif-ibnu-taimiya-t22.html
http://eprints.undip.ac.id/5886/1/retno.pdf
0 komentar:
Posting Komentar