Belum genap sebulan sepeninggal Ibu Yoyoh Yusroh, mata yang jarang menangis di malam hari ini, dipaksa meneteskan air matanya kembali. Berita duka saudara tercinta datang begitu mengejutkan. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun; Ust. Giri Maliawan tutup usia...sabtu dini hari 18 Juni 2011
Muharik sejati itu menghadap Allah di 2/3 malam yang sering ia gunakan semasa hidupnya untuk berkhalwat kepada Allah.
Setelah menghubungi ust. Hilmi Fuad, ust Bonnie Mufidjar, dan mengirim sms ke beberapa ikhwah, segera saya meluncur kerumah duka. Disamping jenazah almarhum, terlihat ust Saeroji duduk dengan mata yang berkaca-kaca setelah mengurus proses pemulangan jenazah dari rumah sakit. Hari itu juga, kader terbaik kota Tangerang, ustad teladan bagi ribuan kader terbujur kaku di ruang tempat yang biasa digunakan untuk mencetak junudud dakwah.
Waktu terus beranjak, orang pun datang silih berganti. Dan setiap gelombang pelayat yang menyaksikan jenazahnya terakhir kali, tenggelam bersama kenangan yang membekas di setiap hati siapa saja yang pernah mengenalnya.
Demikian juga dengan saya.
Sembilan tahun yang lalu...
Saat acara kader inti di Asy Syukriah, beberapa hari setelah mutasi dari jakarta, seorang ikhwah berbisik kepada saya, “akhi, ust Giri mau bertemu, mau kenal dengan antum...” Subhanallah, ia yang memulai ukhuwah diantara kami. Amarhum tahu persis bahwa ukhuwah bukanlah menunggu tapi memulai, sebuah cerminan iman yang kokoh (QS. 49: 10)
Kalau tidak salah setahun kemudian, saya diberi kesempatan Allah mengenal beliau lebih dekat. Takdir rekomposisi menghantarkan saya menjadi a’dhonya dalam suasana TRP yang penuh semangat. Beliau adalah sosok naqib yang tegas. Perhatian almarhum terhadap pertumbuhan kader sangatlah besar. Selain itu, keseriusannya dalam penanaman komitmen dan kesetiaan kader untuk mendukung gerakan dakwah (asasu tarbiyah an nukhbah) melekat kuat dalam dirinya. Inilah mungkin yang menempatkan ust Giri Maliawan selalu berada di bidang kaderisasi, siapapun ketua DPD nya!
Kini beliau harus berpisah dengan kita selamanya
Maka ijinkan saya bersaksi...
Ust Giri adalah seorang pejuang yang berani,
Saya mengagumi itu. Almarhum pernah berdiri di barisan terdepan sebagai border demonstrasi, almarhum tak gentar bertatap muka dengan aparat polisi yang represif menjaga rumah Megawati. Karena yang ia takutkan hanyalah Allah Yang Maha Besar.
Ust Giri adalah contoh teladan,
Sering kita jumpai almarhum hadir dalam acara-acara yang seharusnya ia tidak perlu hadir. Tidak heran pada acara mabit untuk mustawa kader dibawahnya, almarhum sering tampak terlihat disana. Selain taqarub ilallah, kehadirannya ditujukan untuk memberi semangat kepada kader-kader ‘dibawah’. Pesan ini pernah almarhum sampaikan kepada saya sewaktu di kaderisasi; “Kita di kaderisasi dan kita sebagai qiyadah/naqib/murabi harus hadir memberi contoh...”
Allahu Akbar!!
Ust Giri adalah ikhwah yang tidak ingin menyusahkan orang lain...
Beberapa tahun lalu, karena kelelahan membantu korban banjir, almarhum terserang stroke. Saya dan mungkin juga yang lain, baru mengetahuinya beberapa hari, setelah ia dirawat di rumah sakit. Saya menangis dalam hati saat menjenguknya. Tetapi almarhum berusaha bersikap biasa, meskipun sebagian tubuhnya belum bisa digerakan, bicaranya juga palau. Seolah sinyal kepada kami untuk tidak usah mengkhawatirkan dirinya. Bahkan menurut seorang ikhwah, almarhum pernah menyampaikan keinginannya jika mati nanti dalam keadaan berdakwah. Barangkali inilah jawaban mengapa almarhum menolak nasehat beberapa ikhwah jika ia sembuh nanti agar mengurangi aktivitasnya.
Lalu akhir hayatnya menjelaskan semua keinginan itu.
Sebelum ajal tiba, selepas ashar almarhum masih sempat mengisi tausiyah rutin di kantor, lalu dilanjutkan ba’da Isya dengan halaqoh rutin di masjid hingga pukul 22.00. Kemudian beristirahat. Paginya kira-kira jam 02.00 beliau bangun, tiba-tiba sakit. Sekitar 30 menit almarhum menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. Ringan dan cepat. Tidak menyusahkan banyak orang, sebagaimana masa hidupnya.
Ust Giri adalah hamba yang tak butuh dikasihani manusia,
Lima tahun bersamanya di kaderisasi, saya menjadi saksi bahwa almarhum selalu jiddiyah dan tadhiyah dalam setiap rapat. Padahal akibat stroke kondisi fisiknya jelas tidak stabil. Sempat saya melihatnya kesulitan memarkir motor dibelakang DPD. Ia hampir jatuh karena lantai menanjak tidak datar. Turun pun agak susah. Termasuk menyandarkan motor. Belum lagi jadwal rapat di malam hari. Sepulang ia kerja. Tentu tak terbayangkan lelahnya beliau.
Beberapa kali saya menawarkan tempat rapat dirumah almarhum. Namun selalu ditolaknya; “ah... tenang aja akhi..” “nggak usah akhi, rumah ana jauh,” Itulah bahasa penolakannya, kurang lebih.
Ya Allaaah, ustad Giri, ustad Giri....
Bagaimana tidak! Rapat dimulai paling cepat jam 21.00 Terkadang jam 22.00 menunggu almarhum mengisi taklim rutin di masjid. Sesekali pernah jam 23.00 Dilain waktu rapat di Cipondoh rumah bu Marlina. Subhanalloh, beliau tetap dan selalu hadir. Kecuali ada acara dakwah lainnya atau sakit. Kalau pun hadir dalam keadaan susah payah. Kadang raut wajahnya merah kelelahan.Ustad memang tidak ingin menyusahkan orang lain, tak ingin merepotkan jamaah. Itulah prinsipnya.
Satu hal yang membuat saya menyesal adalah saat terpilih menjadi anggota dewan, saya sudah berniat akan berusaha mengajak almarhum naik mobil setiap kali ada acara-acara di tempat yang jauh. Tapi sampai hari wafatnya, belum satu kali pun saya menawarkannya.
Kita mungkin kasihan melihat almarhum naik motor memboncengi istri dan anaknya ke DRN. Tapi itulah beliau, ia tak membutuhkan orang lain mengasihaninya. Yang diharapkan adalah kasihan dari Sang Kekasih, Allah SWT.
Yaa ustad…
Seperti syaikh Ahmad Yasin, engkau mungkin punya seribu satu alasan untuk tidak hadir rapat. Namun semangatmu mengalahkan rukhsoh fisikmu. Engkau tidak mau ketinggalan berebut syurga. Kum faandzir!
“Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan dan berat...” (QS. 9: 41)
Teringat sambutan Dr. Hidayat Nurwahid, melepas almarhum KH Rahmat Abdullah; “yaa ustad, kami sering merepotkanmu, bertumpuk qadhaya kader tak henti kami serahkan kepadamu, sampai-sampai kami sendiri lupa memperhatikan kondisimu dan keluargamu.”
Maka…itu pula yang ingin saya katakan kapada ustad Giri....
Benar ustad, tak ada kata santai di dunia. Di syurgalah tempat kita beristirahat. Hari harimu adalah kebaikan, satuan menitmu adalah dakwah. Kini, usai sudah amanah itu. Beristirahatlah yang tenang ustad... disana, di syurga kekal abadi.
Berbahagia saya dapat menghantarkanmu sampai liang lahat. Menyaksikan, sedikit demi sedikit tanah merah berbentuk segi panjang, rumah terakhir ustad Giri Maliawan ditimbun menutupi jasad kader yang telah mewakafkan hidupnya dijalan dakwah dan bagi kemshlahatan banyak orang.
Akhirnya kaki-kaki pelayat mengayun berat, meninggalkan berjuta kenangan dan kerinduan yang harus terhenti....
sahabat kawan seiman
satu jalan dalam berjuang
tak pernah lupa semua kenangan
dalam dakwah tegakan Islam
tak pernah lupa engkau berdoa
mengharap rahmat dari Tuhan-Nya
lupalah luka lupalah duka
karena berharap nikmatnya syurga…
Selamat jalan ustad….
Ba'da maghrib - Ciliwung Raya 28
Tengku Iwan : Sekretaris DPD PKS Kota Tangerang
0 komentar:
Posting Komentar