Peternakan nasional terguncang gara-gara, Pemerintah Australia menemukan bahwa Indonesia memperlakukan sapi secara tidak “hewani” atau walfare animal. Penemuan ini hasil investigasi Animals Australia atas beberapa rumah potong hewan (RPH). Program televisi Four Corners menayangkan RPH di Indonesia menyembelih hewan dengan tidak layak, sadis. Inilah penyebab kenapa Menteri Pertanian Australia Joe Ludwing melarang impor sapi ke Indonesia. Pemerintah sendiri juga bersikap “keras” dengan mengatakan tidak apa – apa jika Australia akan menyetop impor sapi. Persoalannya, mampukah Indonesia memenuhi kebutuhan daging sendiri?
Sapi Indonesia vs Australia
Fakta perdagangan sapi Indonesia – Australia per tahun bisa mencapai Rp 18 Triliun per tahun. Australia menguasai pasar pemasok sapi hampir 40% kebutuhan daging nasional. Kebutuhan daging Indonesia mencapai 506 ribu ton dan 200 ribu ton daging dipenuhi oleh Australia. Kebutuhan daging setara dengan 600 ribu ekor sapi hidup (bakalan) dan 72 ribu ton daging sapi. Angka diatas membuktikan bahwa Australia mengunci kebutuhan daging Indonesia.
Departemen Pertanian, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan menyampaikan sejak 2006 jumlah sapi mengalami kenaikan, untuk sapi potong naik menjadi 10,9 juta ekor dari 2005 yang hanya 10,6 juta ekor. Selanjutnya pada 2007 kembali meningkat menjadi 11,5 juta ekor dan 2008 naik menjadi 12,3 juta ekor. Sedangkan pada 2009 telah berjumlah 12,6 juta ekor. Sedangkan konsumsi mencapai 3 juta ekor per tahun, dihitung dengan angka konsumsi daging sapi 2,4 kg/kapita/tahun dengan jumlah penduduk 214 juta. (tempo interaktif, 2011).
Jumlah di atas sebenarnya masih bisa bertambah jika benar – benar dilakukan pendataan secara serius terhadap potensi ternak lokal yang dimiliki oleh petani dan peternak kecil di pedesaan. Namun kondisi peternakan sapi saat ini cukup mengkhawatirkan jika dihadapkan dengan kebutuhan daging nasional dan program swasembada daging 2014. Karena banyak bibit sapi produktif di potong oleh rumah potong hewan, karena tergiur harga yang bagus.
Politik Berdikari
Melihat kondisi pertarungan politik dagang sapi Australia saat ini perlu sebuah keberanian. Kita bisa belajar dari sejarah saat diterapkan politik berdikari tahun 1960-an. Politik Berdikari di sektor perikanan yang didorong oleh peristiwa konfrontasi dengan Malaysia, yang berarti kebutuhan harus dipenuhi berdasarkan pada kemampuan sendiri, melarang impor ikan. Soekarno berani mengatakan kita tidak perlu makan ikan impor dari Malaysia, kita makan ikan sendiri. Itulah keberanian pemimpin untuk mempertahankan identitas dan harga diri bangsa.
Tekanan Australia kepada pemerintah sebenarnya juga tekanan kepada SBY. Kita memerlukan sikap jelas SBY agar Australia tidak menekan terus Indonesia pada sektor peternakan. Politik berdikari yang kita harapkan.
Setidaknya ada tiga tindakan penting untuk melindungi peternakan nasional,
PERTAMA, Secara kultur merubah pola pangan nasional. Kita tidak akan “mati” tanpa daging, lebih baik makan ikan yang secara nilai gizi lebih baik. Walaupun impor daging distop oleh Australia kita masih punya stok ikan yang melimpah ruah. Perubahan pola pangan ini membutuhkan kebijakan pemerintah. SBY bisa mengeluarkan Keppres untuk mengubah pola pangan ini. Keberhasilan Jepang membendung gerakan “Mac Donalization” yang mengerus budaya makan ikan juga dikeluarkan kebijakan secara tegas oleh Jepang.
KEDUA, Revitalisasi peternakan. Perubahan pangan nasional mengatur kebijakan dilevel grassroot. Revitalisasi peternakan dilakukan dengan pemberian insentif untuk peternak lokal. Insentif inilah yang diberikan oleh Australia dan negara–negara maju untuk mendukung keberhasilan berternak masyarakat. Insentif ini berupa subsidi pakan, subsidi bibit unggul, pemberian kredit usaha peternakan. Memang sudah ada berbagai program subsidi, namun sampai sekarang hasilnya belum jelas untuk bisa mandiri secara nasional.
KETIGA, Kebersamaan kolektif. Artinya bahwa politik dagang sapi Australia ini kita lawan dengan kesungguhan dalam menyatukan semua elemen dalam penanganan masalah peternakan nasional. Agenda konkritnya yaitu, daerah – daerah membuat klaster peternakan massif berbasis sapi lokal dan integrasi dengan pertanian. Gerakan ini bisa dilakukan di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan yang merupakan sentra kebun sawit. Sumatera Barat dengan program one man one cow jika berhasil akan menghasilkan 3 juta sapi untuk mensuplai kebutuhan nasional.
Akhirnya harapan akan kemandirian sapi nasional bergantung kepada kita semua, distopnya kran impor sapi seharusnya akan menggairahkan peternakan nasional. Namun upaya di atas akan sulit terealisasi jika presiden dan seluruh rakyat Indonesia masih enggan untuk memulai dari diri sendiri membiasakan “hidup” tanpa daging sapi, masih banyak pilihan pangan lain yang memiliki nilai gizi lebih baik. Kita tunggu keberanian SBY untuk menuntaskan politik dagang sapi Australia.
Penulis: Riyono, S.Kel.M.Si Sekjen DPP PPNSI (Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia)
0 komentar:
Posting Komentar