Sekilas memang ada hadits yang terdengar patriarkal dan tidak memberi ruang bagi perempuan untuk berkiprah dalam kehidupan sosial, apalagi memegang jabatan penting dalam dunia birokrasi dan pemerintahan. Hal itu sering membuat kita menyangka yang tidak-tidak terhadap Islam yang kita anut dengan sepenuh hati.
Akan tetapi, hendaknya kita tidak terburu-buru berprasangka jelek terhadap ketentuan-ketentuan Islam, apalagi sampai menggugat Sang Pencipta Syariat Islam, yakni Allah SWT. Naudzu Billah.
Tak jarang prasangka semacam itu dimanfaatkan oleh musuh-musuh agama Islam untuk menggoyang keyakinan kita, hingga iman kita menjadi goyah, rapuh, retak, bahkan bisa hancur. Naudzu Billah.
Hadits yang dimaksudkan diatas berbunyi sebagai berikut:
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang mana urusan mereka dipimpin oleh wanita.” (HR. Imam Bukhari)
Asbabun Nuzul dari hadits di atas adalah ketika Rasulullah SAW mendengar Bauran binti Kisra mengambil jabatan pemerintahan Persia. Hadits di atas diriwayatkan setelah terbunuhnya Khalifah ketiga, Utsman Bin Affan RA, dan munculnya Ummul Mukminin Aisyah RA yang memimpin pasukan Jamal (unta) yang terkenal itu.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yang tentunya tidak diragukan lagi keshahihannya. Beliau adalah perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits shahih. Meski kita menerima kebenaran redaksi hadits ini, namun tidak berarti dapat dipahami bahwa isinya melarang wanita untuk menduduki jabatan jenis apapun, termasuk jabatan dalam pemerintahan.
Dalil-Dalil dan Pendapat Ulama
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, larangan dalam hadits di atas berlaku pada jabatan yang mengharuskan wanita mengurusi prajurit perang, seperti jabatan Jendral, Komandan, dan termasuk juga Presiden. Larangan di atas juga berlaku dalam jabatan-jabatan tertentu yang telah disebutkan secara eksplisit didalam nash al-Quran dan Sunnah, seperti Imam dan/atau Khatib sholat Jumat dan Sholat Hari Raya.
Dalam sejarah kita juga mendengar kehebatan Ratu Balqis yang akhirnya masuk Islam dan diperistri oleh Nabi Sulaiman AS. Al-Quran memuji pemerintahan sang Ratu yang gemilang atas kekuatan akal dan upaya yang dia lakukan untuk menyelamatkan rakyatnya.
Ayat mengenai Ratu Balqis menjadi bukti bahwa hadits di atas adalah berita terhadap apa yang terjadi pada pemerintahan Bauran dengan kerajaan Persianya, dan mengenai kemungkinan masa depan yang bakal terjadi. Maknanya menjadi sederhana, dan hilanglah pendalilan hadits di atas terhadap larangan wanita dalam memegang jabatan publik. Demikianlah menurut Mufti Yusuf Al-Qaradhawi. (Kitab Al-Fatawa al-Muashirah)
Pada masa Rasulullah, beliau SAW pernah mengangkat seorang wanita bernama Samra’ binti Nahika al-Asadiyah sebagai pengawas Pasar Besar (al-hasabah) di Makkah. Pegawas pasar adalah salah satu jabatan publik di bawah Departemen Keamanan.
Pada Masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Khalifah Umar Bin Khattab pernah membekali Samra’ binti Nahikah sehelai cambuk untuk mencambuk para pedagang yang tidak tertib. Pedagang di pasar pada masa itu didominasi oleh kaum laki-laki. Umar Bin Khattab juga pernah mengangkat seorang pengawas wanita bernama as-Syifa binti Abdillah al-Adawiyah untuk mengawasi pasar Madinah.
Bahkan, Imam al-Ghazali pernah berbicara mengenai hal ini: “Masalah memberi ketetapan hukum bukanlah masalah milik laki-laki dan perempuan, tetapi masalahnya adalah masalah kemampuan yang timbul dari dalam diri atau dengan pembelajaran ilmiyah. Sebab seringkali kaum wanita mempunyai kemampuan lebih dari kaum laki-laki.”
Penutup
Setelah kita menelaah dalil-dalil dan pendapat para ulama (semoga rahmat Allah selalu tercurah kepada mereka), maka jelaslah sudah bahwa Islam tidak secara ekstrim melarang perempuan memegang jabatan publik, karena wajhu dalalah dari hadits di atas tidaklah bermaksud demikian.
Apalagi ditambah dengan komentar Imam Al-Ghazali yang berkata bahwa masalah mengenai pemegang jabatan publik bukanlah masalah gender, akan tetapi masalah kemampuan. Dan tidak jarang wanita mengungguli laki-laki dalam masalah tertentu, seperti ketelitian, disiplin, keilmuan, dll.
Meski demikian, wanita tetap harus berada dalam koridor yang benar dan tidak keluar dari batasan rel yang telah digariskan oleh agama. Maka, pembolehan memegang jabatan publik tidaklah berarti bahwa wanita boleh mengambil alih semua tugas publik, khususnya yang memang harus dipegang dan dijalani oleh laki-laki, seperti Imam sholat Jumat, dll, sebagaimana yang telah kita bahas di atas.
Wallahu A’lam Bishshowab
Akan tetapi, hendaknya kita tidak terburu-buru berprasangka jelek terhadap ketentuan-ketentuan Islam, apalagi sampai menggugat Sang Pencipta Syariat Islam, yakni Allah SWT. Naudzu Billah.
Tak jarang prasangka semacam itu dimanfaatkan oleh musuh-musuh agama Islam untuk menggoyang keyakinan kita, hingga iman kita menjadi goyah, rapuh, retak, bahkan bisa hancur. Naudzu Billah.
Hadits yang dimaksudkan diatas berbunyi sebagai berikut:
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang mana urusan mereka dipimpin oleh wanita.” (HR. Imam Bukhari)
Asbabun Nuzul dari hadits di atas adalah ketika Rasulullah SAW mendengar Bauran binti Kisra mengambil jabatan pemerintahan Persia. Hadits di atas diriwayatkan setelah terbunuhnya Khalifah ketiga, Utsman Bin Affan RA, dan munculnya Ummul Mukminin Aisyah RA yang memimpin pasukan Jamal (unta) yang terkenal itu.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yang tentunya tidak diragukan lagi keshahihannya. Beliau adalah perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits shahih. Meski kita menerima kebenaran redaksi hadits ini, namun tidak berarti dapat dipahami bahwa isinya melarang wanita untuk menduduki jabatan jenis apapun, termasuk jabatan dalam pemerintahan.
Dalil-Dalil dan Pendapat Ulama
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, larangan dalam hadits di atas berlaku pada jabatan yang mengharuskan wanita mengurusi prajurit perang, seperti jabatan Jendral, Komandan, dan termasuk juga Presiden. Larangan di atas juga berlaku dalam jabatan-jabatan tertentu yang telah disebutkan secara eksplisit didalam nash al-Quran dan Sunnah, seperti Imam dan/atau Khatib sholat Jumat dan Sholat Hari Raya.
Dalam sejarah kita juga mendengar kehebatan Ratu Balqis yang akhirnya masuk Islam dan diperistri oleh Nabi Sulaiman AS. Al-Quran memuji pemerintahan sang Ratu yang gemilang atas kekuatan akal dan upaya yang dia lakukan untuk menyelamatkan rakyatnya.
Ayat mengenai Ratu Balqis menjadi bukti bahwa hadits di atas adalah berita terhadap apa yang terjadi pada pemerintahan Bauran dengan kerajaan Persianya, dan mengenai kemungkinan masa depan yang bakal terjadi. Maknanya menjadi sederhana, dan hilanglah pendalilan hadits di atas terhadap larangan wanita dalam memegang jabatan publik. Demikianlah menurut Mufti Yusuf Al-Qaradhawi. (Kitab Al-Fatawa al-Muashirah)
Pada masa Rasulullah, beliau SAW pernah mengangkat seorang wanita bernama Samra’ binti Nahika al-Asadiyah sebagai pengawas Pasar Besar (al-hasabah) di Makkah. Pegawas pasar adalah salah satu jabatan publik di bawah Departemen Keamanan.
Pada Masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Khalifah Umar Bin Khattab pernah membekali Samra’ binti Nahikah sehelai cambuk untuk mencambuk para pedagang yang tidak tertib. Pedagang di pasar pada masa itu didominasi oleh kaum laki-laki. Umar Bin Khattab juga pernah mengangkat seorang pengawas wanita bernama as-Syifa binti Abdillah al-Adawiyah untuk mengawasi pasar Madinah.
Bahkan, Imam al-Ghazali pernah berbicara mengenai hal ini: “Masalah memberi ketetapan hukum bukanlah masalah milik laki-laki dan perempuan, tetapi masalahnya adalah masalah kemampuan yang timbul dari dalam diri atau dengan pembelajaran ilmiyah. Sebab seringkali kaum wanita mempunyai kemampuan lebih dari kaum laki-laki.”
Penutup
Setelah kita menelaah dalil-dalil dan pendapat para ulama (semoga rahmat Allah selalu tercurah kepada mereka), maka jelaslah sudah bahwa Islam tidak secara ekstrim melarang perempuan memegang jabatan publik, karena wajhu dalalah dari hadits di atas tidaklah bermaksud demikian.
Apalagi ditambah dengan komentar Imam Al-Ghazali yang berkata bahwa masalah mengenai pemegang jabatan publik bukanlah masalah gender, akan tetapi masalah kemampuan. Dan tidak jarang wanita mengungguli laki-laki dalam masalah tertentu, seperti ketelitian, disiplin, keilmuan, dll.
Meski demikian, wanita tetap harus berada dalam koridor yang benar dan tidak keluar dari batasan rel yang telah digariskan oleh agama. Maka, pembolehan memegang jabatan publik tidaklah berarti bahwa wanita boleh mengambil alih semua tugas publik, khususnya yang memang harus dipegang dan dijalani oleh laki-laki, seperti Imam sholat Jumat, dll, sebagaimana yang telah kita bahas di atas.
Wallahu A’lam Bishshowab
0 komentar:
Posting Komentar