Sudah 103 tahun, Indonesia memperingati hari Kebangkitan Nasional. Hendaknya, peringatan itu tidak sebatas euphoria saja. Tetapi wujudkan dengan meningkatkan semangat dan konstribusi membangun bangsa. Tak dipungkuri, Indonesia saat ini memiliki banyak persoalan. Fakta memperlihatkan perempuanlah yang paling merasakan dampaknya akibat krisis kesejahteraan, termasuk krisis keluarga. Tahun-tahun terakhir ini kekokohan keluarga Indonesia memang terancam. Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nazaruddin Umar, pada Agustus 2007 telah menyatakan bahwa gejolak yang mengancam kehidupan struktur keluarga akan semakin meningkat (Eramuslim, 2007). Pernyataan Nazaruddin ini benar adanya. Saat ini, angka perceraian di Indonesia, walaupun belum setinggi di Amerika Serikat, merupakan tertinggi di kawasan Asia Pasifik (Lintas Berita, 2011).
Kemiskinan juga masih dialami banyak keluarga Indonesia. Jumlah keluarga Pra Sejahtera, yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal masih cukup tinggi. Yaitu, 15 % pada tahun 2006 dari total jumlah keluarga Indonesia (BKKBN, 2007) . Sementara itu, jumlah keluarga yang terkategori sebagai keluarga sejahtera I, yaitu keluarga yang telah memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, seperti pendidikan, lebih tinggi lagi. Yaitu, mencapai 24 % pada 2006 (BKKBN, 2007).
Menyikapi kondisi tersebut dan dalam rangka memaknai Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2011, Bidang Perempuan PKS akan mendukung masyarakat mencapai kondisi tersebut dengan dua program nasional (PRONAS) yang akan diluncurkan dalam waktu dekat. Kedua PRONAS itu adalah pembentukan Rumah Keluarga Indonesia (RKI) di setiap provinsi dan peningkatan kapasitas perempuan Indonesia melalui pembentukan 400 Pos Wanita Keadilan berbasis pendidikan dan pemberdayaan ekonomi (Pos WK PPE). Melalui RKI, akan digulirkan sahabat keluarga dan jambore anak Indonesia usia SMP dan SMA. Sedangkan melalui Pos WK PPE, produktivitas atau pendapatan keluarga akan ditingkatkan.
Sejarah kebangkitan nasional Indonesia, 20 Mei 1908, tidak bisa dilepaskan dari kiprah perempuan Indonesia. Jauh sebelum organisasi Budi Utomo lahir, telah ada pejuang-pejuang perempuan yang berkiprah luar biasa. Ada Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan, yang memerintah Aceh dari tahun 1644 – 1675. Selama masa itu, Sultanah bukan saja menampik usaha Belanda untuk memperoleh monopoli tetapi juga mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesusastraan, serta memajukan pendidikan bagi kaum laki-laki dan perempuan. Selain Sultanah, ada Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan yang ahli pemerintahan, mahir kesusastraan, dan mendirikan tempat pendidikan modern anak-anak pertama pada 1908 (Harsja W. Bachtiar 1990). Sayangnya, kedua pejuang perempuan tersebut tak banyak dikenal masyarakat Indonesia.
Setelah masa itu, banyak pejuang perempuan Indonesia yang bermunculan. Seperti R.A. Kartini di Jepara yang memperjuangkan pendidikan kaum perempuan dan Roehana Koeddoes, jurnalis perempuan pertama dari Sumatera Barat, yang mendirikan perusahaan penerbitan Koran Soenting Malajoe. Pada akhir abad ke-19, Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia bersama Teuku Umar, Martha Christina Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan bersama Wolter Monginsidi, serta Roro Gusik bersama Surapati dikenal sebagai perempuan-perempuan pemimpin pasukan melawan penjajah. Era berikutnya, dikenallah Maria Walanda dan Nyi Ageng Serang yang berjuang di ranah pendidikan. (rilis)
0 komentar:
Posting Komentar