Per Februari 2011, Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimah (PP Salimah) menyebarkan kaleng seperti celengan. Mereka menyebutnya kencleng yang digunakan untuk menghimpun dana sosial. “Idenya me minjam tradisi jimpitan ibu-ibu di desa,” ujar Ketua Umum PP Salimah, Nurul Hidayati, Ahad (3/7) lalu.
Jimpitan yang dimaksud adalah cara pengumpulan dana yang ditempuh ibu-ibu pengajian guna membantu anggotanya yang ditimpa musibah atau kesusah an. Kencleng itu juga bertujuan sama. Bagi masyarakat yang tertarik berpartisipasi, kata Nurul, mereka bisa mengambil kencleng-kencleng itu di sekretariat Salimah, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Rencananya, kencleng-kencleng yang telah tersebar dikumpulkan lagi pada Oktober 2011 mendatang. “Dana yang terkumpul digunakan untuk membiayai program pemberdayaan perempuan dhuafa, berupa pemberian keterampilan,” kata Nurul.
Ada satu lagi program komunitas yang sedang mereka persiapkan. Program itu mereka sebut Indonesia Berjilbab. Dengan program ini, Salimah mengumpulkan jilbab yang nantinya dibagikan kepada ibu-ibu dari kalangan tak mampu. Sehingga mereka memiliki jilbab yang memadai untuk dipakai. Mereka akan meng andalkan jaringan di sejumlah daerah. Jaringan itu ada di wilayah Banten, Bandung, Kalimantan Timur, Gorontalo, Lampung, Medan, dan Jawa Timur.
Dalam praktiknya, tim yang ada di wilayah-wilayah itu bergerak untuk mengumpulkan donasi lalu dialokasikan membeli jilbab. Bisa juga, mereka mengumpulkan jilbab layak pakai. Jilbab layak pakai ataupun jilbab yang dibeli dari donasi yang terkumpul disebar ke seluruh Indonesia. “Target kita setahun sejuta jilbab hingga 2012,” katanya.
Mereka pun mengusung program, mengetuk kepedulian masyarakat terhadap Palestina melalui “Kumpulkan Dana Palestina”.
Mereka menawarkan suvenir cantik demi menggalang dana bagi Palestina, melalui BlackBerry Messenger ataupun jaringan sosial lainnya. Nurul mengungkapkan, dalam sehari peluncurannya pihaknya berhasil mengantongi dana Rp 6 juta.
Nurul menyadari, suvenir asli buatan Muslim Palestina itu menggugah semangat penyumbang. Suvenir gelang karet Spirit of Aqsha diberikan bagi penyumbang sebesar Rp 20 ribu. Ada suvenir gelang kayu bendera Palestina bagi penyumbang senilai Rp 50 ribu, sedangkan pembatas Alquran asli buatan ibu-ibu warga Palestina yang bermukim di Suriah diberikan kepada donatur yang mendonasikan uangnya sebesar Rp 100 ribu.
Di Depok, Jawa Barat, kisah lain tersingkap. Nurrochim, lelaki yang kini menjadi ketua Yayasan Bina Insan Mandiri (Yabim) memelopori sekolah gratis di area Masjid Terminal Depok. Sekolah berjuluk Master atau masjid terminal itu lahir dari kepedulian dia pada pendidikan anak-anak yang ada di area terminal sejak delapan tahun lalu.
“Saya ingin mengentaskan kemiskinan mereka melalui pendidikan,” cetus Nurrochim, Selasa (5/7). Memanfaatkan kedekatannya dengan pengelola terminal serta warga sekitar, dia mulai mendidik anak-anak pengasong, pengamen, dan pekerja cilik terminal lainnya di area masjid. Lantaran jumlah peminatnya bertambah terus, mereka mendapatkan tanah wakaf seluas satu hektare. Dibangunlah saungsaung sederhana agar anak didiknya terlindungi saat belajar. Ia mengatakan, membujuk anak jalanan untuk belajar butuh kesabaran ekstra. Awalnya, imbuh Nurrochim, mereka dibebaskan dari jam belajar yang ketat.
Mereka bisa belajar apa saja, pelajaran ataupun keterampilan yang diminati. Seiring waktu, banyak relawan pengajar dari UI dan UNJ yang menyusun kurikulum bersama. Selain pelajaran umum, sekitar 5.000 muridnya mendapatkan keterampilan berbahasa Inggris dan kajian agama. Potensi para siswanya mulai terdongkrak. Dari sekolah ini lahir siswa-siswi berprestasi. Di antaranya Octanas Abdurachman (Juara I Olimpiade Sains SD tahun 2007), Hilmi Yadi (Juara I matematika SMP tahun 2005), Danissa Safitri (Juara III sains SMU tahun 2007), Septri Atmanegara (Juara I Lomba menulis).
Salah seorang pengajarnya, Dwi Putro, juga terpilih sebagai guru teladan se-Jawa Barat tahun 2008. Lulusannya pun mulai masuk jenjang perguruan tinggi, seperti UI dan perguruan negeri lainnya. Permintaan mengalir bagi Nurrochim untuk membuka sekolahan yang sama di berbagai tempat. Kini sudah ada tiga sekolah yang sama berdiri di Bojong, Bekasi, dan Bogor. Sekolah ini juga meluas kan jaringan ke berbagai perusahaan untuk menyalurkan para alumninya bekerja. “Hal ini sesuai dengan tujuan kami untuk membuat generasi muda yang mandiri,” katanya.
Harumnya nama sekolah Master membuat kuantitas murid bertambah. Dibantu beberapa donatur, wakaf tanah dua hektare untuk fasilitas sekolah diwujudkan dalam bentuk lapangan olahraga serta klinik. Kelak, Nurrochim bercita-cita mendirikan rumah sakit gratis untuk kaum dhuafa.
Kepedulian terhadap kaum dhuafa ditunjukkan pula oleh dua sahabat, Amalia Nur Hasan dan Tuti Samadikun. Mengusung tekad membekali pengetahuan agama bagi para ibu di sekitarnya, Amalia membentuk majelis taklim Khoirun Nisaa 2 pada 8 Juni 2004 lalu. Jamaahnya mencapai 30-40 orang. Mereka adalah penjual keliling, pembantu rumah tangga, tukang pijat, dan istri tukang ojek di sekitar Kompleks Timah Depok, Kelapa Dua. “Kami menyadari banyak ibu-ibu di sekitar tempat tinggal yang tak punya akses dan kesempatan belajar agama,” papar Amalia.
Kendala utama adalah rasa minder para jamaah atas perbedaan tingkat sosial. Tapi, Amalia dan Tuti menunjukkan sikap bersahaja. Mereka mengajarkan iqra, tadarusan, dan mengundang ustazah untuk tausiyah secara cuma-cuma. “Kita bakal melestarikan pengajian ini selagi diberi kemampuan oleh Allah,” ujar Tuti.
Jimpitan yang dimaksud adalah cara pengumpulan dana yang ditempuh ibu-ibu pengajian guna membantu anggotanya yang ditimpa musibah atau kesusah an. Kencleng itu juga bertujuan sama. Bagi masyarakat yang tertarik berpartisipasi, kata Nurul, mereka bisa mengambil kencleng-kencleng itu di sekretariat Salimah, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Rencananya, kencleng-kencleng yang telah tersebar dikumpulkan lagi pada Oktober 2011 mendatang. “Dana yang terkumpul digunakan untuk membiayai program pemberdayaan perempuan dhuafa, berupa pemberian keterampilan,” kata Nurul.
Ada satu lagi program komunitas yang sedang mereka persiapkan. Program itu mereka sebut Indonesia Berjilbab. Dengan program ini, Salimah mengumpulkan jilbab yang nantinya dibagikan kepada ibu-ibu dari kalangan tak mampu. Sehingga mereka memiliki jilbab yang memadai untuk dipakai. Mereka akan meng andalkan jaringan di sejumlah daerah. Jaringan itu ada di wilayah Banten, Bandung, Kalimantan Timur, Gorontalo, Lampung, Medan, dan Jawa Timur.
Dalam praktiknya, tim yang ada di wilayah-wilayah itu bergerak untuk mengumpulkan donasi lalu dialokasikan membeli jilbab. Bisa juga, mereka mengumpulkan jilbab layak pakai. Jilbab layak pakai ataupun jilbab yang dibeli dari donasi yang terkumpul disebar ke seluruh Indonesia. “Target kita setahun sejuta jilbab hingga 2012,” katanya.
Mereka pun mengusung program, mengetuk kepedulian masyarakat terhadap Palestina melalui “Kumpulkan Dana Palestina”.
Mereka menawarkan suvenir cantik demi menggalang dana bagi Palestina, melalui BlackBerry Messenger ataupun jaringan sosial lainnya. Nurul mengungkapkan, dalam sehari peluncurannya pihaknya berhasil mengantongi dana Rp 6 juta.
Nurul menyadari, suvenir asli buatan Muslim Palestina itu menggugah semangat penyumbang. Suvenir gelang karet Spirit of Aqsha diberikan bagi penyumbang sebesar Rp 20 ribu. Ada suvenir gelang kayu bendera Palestina bagi penyumbang senilai Rp 50 ribu, sedangkan pembatas Alquran asli buatan ibu-ibu warga Palestina yang bermukim di Suriah diberikan kepada donatur yang mendonasikan uangnya sebesar Rp 100 ribu.
Di Depok, Jawa Barat, kisah lain tersingkap. Nurrochim, lelaki yang kini menjadi ketua Yayasan Bina Insan Mandiri (Yabim) memelopori sekolah gratis di area Masjid Terminal Depok. Sekolah berjuluk Master atau masjid terminal itu lahir dari kepedulian dia pada pendidikan anak-anak yang ada di area terminal sejak delapan tahun lalu.
“Saya ingin mengentaskan kemiskinan mereka melalui pendidikan,” cetus Nurrochim, Selasa (5/7). Memanfaatkan kedekatannya dengan pengelola terminal serta warga sekitar, dia mulai mendidik anak-anak pengasong, pengamen, dan pekerja cilik terminal lainnya di area masjid. Lantaran jumlah peminatnya bertambah terus, mereka mendapatkan tanah wakaf seluas satu hektare. Dibangunlah saungsaung sederhana agar anak didiknya terlindungi saat belajar. Ia mengatakan, membujuk anak jalanan untuk belajar butuh kesabaran ekstra. Awalnya, imbuh Nurrochim, mereka dibebaskan dari jam belajar yang ketat.
Mereka bisa belajar apa saja, pelajaran ataupun keterampilan yang diminati. Seiring waktu, banyak relawan pengajar dari UI dan UNJ yang menyusun kurikulum bersama. Selain pelajaran umum, sekitar 5.000 muridnya mendapatkan keterampilan berbahasa Inggris dan kajian agama. Potensi para siswanya mulai terdongkrak. Dari sekolah ini lahir siswa-siswi berprestasi. Di antaranya Octanas Abdurachman (Juara I Olimpiade Sains SD tahun 2007), Hilmi Yadi (Juara I matematika SMP tahun 2005), Danissa Safitri (Juara III sains SMU tahun 2007), Septri Atmanegara (Juara I Lomba menulis).
Salah seorang pengajarnya, Dwi Putro, juga terpilih sebagai guru teladan se-Jawa Barat tahun 2008. Lulusannya pun mulai masuk jenjang perguruan tinggi, seperti UI dan perguruan negeri lainnya. Permintaan mengalir bagi Nurrochim untuk membuka sekolahan yang sama di berbagai tempat. Kini sudah ada tiga sekolah yang sama berdiri di Bojong, Bekasi, dan Bogor. Sekolah ini juga meluas kan jaringan ke berbagai perusahaan untuk menyalurkan para alumninya bekerja. “Hal ini sesuai dengan tujuan kami untuk membuat generasi muda yang mandiri,” katanya.
Harumnya nama sekolah Master membuat kuantitas murid bertambah. Dibantu beberapa donatur, wakaf tanah dua hektare untuk fasilitas sekolah diwujudkan dalam bentuk lapangan olahraga serta klinik. Kelak, Nurrochim bercita-cita mendirikan rumah sakit gratis untuk kaum dhuafa.
Kepedulian terhadap kaum dhuafa ditunjukkan pula oleh dua sahabat, Amalia Nur Hasan dan Tuti Samadikun. Mengusung tekad membekali pengetahuan agama bagi para ibu di sekitarnya, Amalia membentuk majelis taklim Khoirun Nisaa 2 pada 8 Juni 2004 lalu. Jamaahnya mencapai 30-40 orang. Mereka adalah penjual keliling, pembantu rumah tangga, tukang pijat, dan istri tukang ojek di sekitar Kompleks Timah Depok, Kelapa Dua. “Kami menyadari banyak ibu-ibu di sekitar tempat tinggal yang tak punya akses dan kesempatan belajar agama,” papar Amalia.
Kendala utama adalah rasa minder para jamaah atas perbedaan tingkat sosial. Tapi, Amalia dan Tuti menunjukkan sikap bersahaja. Mereka mengajarkan iqra, tadarusan, dan mengundang ustazah untuk tausiyah secara cuma-cuma. “Kita bakal melestarikan pengajian ini selagi diberi kemampuan oleh Allah,” ujar Tuti.
Sumber : Islamedia
0 komentar:
Posting Komentar