Masih Proses, Mohon Sabar...

Jumat, 01 Juli 2011

Republik Pendusta I

Kamis malam(30/6), sebuah “sinetron” ditayangkan secara langsung di layar kaca. Judulnya: Panja Mafia Pemilu. Pemerannya: anggota Panja dari Komisi II DPR, Andi Nurpati, dan pihak-pihak yang terkait dengan surat palsu MK. Tempatnya: di gedung dewan yang terhormat. Lakonnya: Membantah setiap pernyataan yang dilontarkan lawan mainnya. Akting mereka tak kalah dengan artis-artis sinetron kebanyakan.

Sayang, semakin lama ditonton, “sinetron”  ini kian memprihatinkan. Apalagi jika disaksikan oleh anak-anak. Memang tak ada adegan pornoaksi dan pornografi; tapi ada lakon yang sama atau bahkan lebih berbahaya: mengajarkan dusta. Jika ada dua atau tiga orang yang sama-sama mengklaim dirinya benar dan bersumpah atas nama Allah, bukankah diantara mereka pasti berdusta? Dan, bagi mereka yang memiliki nurani, secara kasat mata bisa menyimpulkan siapa sesungguhnya pendusta itu.

Anggota Panja dari Fraksi PKS, Al Muzzammil Yusuf mencatat ada sedikitnya 4 keterangan berbeda antara Andi Nurpati dan lawan mainnya. Andi Nurpati bilang A, tapi lawan mainnya mengatakan B. Andi Nurpati bilang C, tapi lawan mainnya mengatakan D. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya Akbar Faisal dari Fraksi Hanura berujar untuk meluapkan kegundahannya:
“Jujur, saya tak tahu siapa diantara mereka ini yang berbohong.”

Di negeri ini, “sinetron” semacam di atas sangatlah banyak. Setiap hari, kita seolah dipaksa untuk menyaksikanya, meski sangat menjengkelkan. Tengok saja bagaimana kisah Nazaruddin yang lari ke Singapura. Dari Negeri Singa itu, politisi Partai Demokrat tersebut terus saja berkoar-koar tentang kasus yang melilit dirinya. Dia menuduh banyak pihak yang terlibat. Terakhir, mantan bendahara umum PD itu mengatakan bahwa dana Sesmenpora mengalir hingga ke Anas Urbaningrum. Tuduhan Nazaruddin tentu saja segera dibantah. Dan kita, menjadi bingung, siapa yang benar, siapa yang tak benar.

Di akhir tahun 2009, “sinetron” serupa juga pernah ditayangkan dan berhasil membetot perhatian publik. Aktornya: Presiden, Pimpinan Polri, KPK, Kejagung, Tim 8 dan Anggodo. Akting mereka sungguh memikat: ada yang menangis di hadapan Komisi III DPR sambil mengucap “Demi Allah”; ada yang bersumpah di bawah Al Qur’an; ada pula yang tetap tenang, menjaga wibawa atas nama “tidak ingin mengintervensi hukum”.

Saat itu, berbagai pernyataan berseliweran, membuat bingung banyak orang.

“Saya tak paham apa itu kriminalisasi KPK,” kata Presiden SBY menanggapi opini yang berkembang bahwa telah terjadi upaya kriminalisasi KPK. Seorang presiden bergelar S3 dan jenderal bintang empat sama sekali tak paham istilah kriminalisasi. Anda percaya atau tidak?

“Saya menemui Anggoro di Singapura difasilitasi KBRI,” ujar mantan Kabareskrim Susno Duadji. Belakangan, pihak KBRI membantahnya.

“Saya diperas oleh pimpinan KPK,” ucap Anggodo. Padahal, dalam rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi jelas terdengar jika Anggodo mengambil inisiatif menyuap KPK.

“Sinetron” buruk di atas telah memakan korban. Salah satunya Alif dan kedua orangtuanya. Akibat kejujuran mereka yang membongkar praktik contek massal saat Ujian Nasioanal SD, mereka diusir dari tempat tinggalnya. Tragis!

Saya jadi teringat dengan seorang psikolog asal University of Massachusetts, Robert Feldman, PhD. Secara khusus ia melakukan penelitian untukmembuktikan seberapa sering manusia berdusta dan untuk apa mereka berdusta. Tak tanggung-tanggung, penelitian itu dilakukan selama 25 tahun! Salah satu hasilnya sangat mengejutkan. Menurutnya, orang-orang sukses dan memiliki jabatan tinggi sebetulnya adalah pembohong ulung.

Feldman kemudian memaparkan hasil penelitiannnya itu dalam bukunya The Liar in Your Life: The Way to Truthful Relationships. Ia mengatakan, rata-rata orang mengatakan 3 kebohongan setiap 10 menitnya. Diketahui pula bahwa tingkat kebohongan para responden sangat tinggi, berbohong bagi mereka sudah menjadi sangat umum dan hal biasa sampai-sampai seseorang tidak menyadari bahwa ia melakukannya.

Mengapa mereka berdusta? Pertama , mereka berbohong untuk bertahan hidup. Kedua, seseorang berbohong untuk mendapatkan apa yang ia mau. Contohnya, memuji seseorang untuk mendapat pujian balik atau keuntungan tertentu, meyakinkan orang lain untuk meyakini apa yang kita mau dan sebagainya.

Teknik berbohong sebenarnya tidak dilakukan oleh manusia saja, hampir seluruh makhluk hidup melakukannya, dan satu alasan yang sama untuk berbohong adalah untuk mempertahankan hidup.

Jika diperhatikan, hewan melakukan teknik kamuflase yang merupakan teknik berbohong sederhana. Kebanyakan hewan melakukan kamuflase untuk menarik lawan jenisnya atau mencari mangsa yang ujung-ujungnya bertujuan untuk mempertahankan hidup.

Lalu, bagaimana dengan manusia? Perlukah seseorang berbohong untuk mempertahankan hidupnya?

Dalam Islam, hanya ada tiga dusta yang diperbolehkan. Pertama, orang yang berbicara dengan maksud hendak mendamaikan. Kedua, orang yang berbicara bohong dalam peperangan. Ketiga, suami yang berbicara dengan istrinya serta istri yang berbicara dengan suaminya (mengharapkan kebaikan dan keselamatan atau keharmonisan rumah tangga)”. (HR. Muslim)

Dusta yang dilakukan oleh para pemimpin kita tak satu pun masuk dari tiga kategori di atas. Dusta mereka, justru membuat kita “Malu (Aku) jadi Orang Indonesia”, seperti judul puisi yang ditulis Taufiq Ismail.

...Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
 Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya dengan sepotong SK
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
 Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
 Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
 Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
 Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia. 

Erwyn Kurniawan
Sumber : Islamedia

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes