Kita mulai pembahasan tentang “Mengatasi Korupsi”. Ini sebagai pengantar debat dengan Febri Diansyah dan Tama Satrya Langkun dari ICW.
Bagi saya, tidak pernah terbayang bahwa mengatasi korupsi akan sesulit ini di negeri ini. Karena pada dasarnya kita tidak mulai dari nol. Itulah sebabnya saya selalu menolak perasaan tidak berdaya dalam mengatasi korupsi seolah kita tidak punya modal sosial sebagai bangsa. Modal sosial kita terlalu besar untuk mengatasi korupsi, apalagi jika ditambah dengan kemampuan kelembagaan semacam KPK dll.
Secara kelembagaan, sejak zaman orde lama sampai orde baru lembaga ad hoc sudah sering dibuat untuk mengatasi korupsi. Apa yang berbeda?
Perbedaan itu yang ingin saya sampaikan. Saya pernah memberi paper ke KPK ketika di UGM, tentang perbedaan korupsi di Cina vs Amerika Serikat. Orang sering salah lihat. Korupsi sekarang tidak lebih banyak. Karena kejahatan ini marak dalam sistem tertutup bukan terbuka.
Dalam sistem tertutup dulu, korupsi sebetulnya lebih dahsyat. Karena konspiratif dan dilindungi. Sedangkan dalam demokrasi (sistem terbuka) korupsi sekecil apapun menjadi tampak. Kitalah yang membukanya. Ini berkah demokrasi. Jadi, sistem terbuka dengan sendirinya membersihkan lemak-lemak otoritarianisme. Ini karya bangsa Indonesia yang luar biasa.
Pertanyaannya, apakah sama cara memberantas korupsi di masa tertutup otoriter dan demokrasi terbuka? Hal ini sering paling sulit dimengerti. Karena itu, atas nama efektivitas mau main terabas secara ngawur. Dalam sistem tertutup, kepala mafianya ada di elite. Mereka bersekongkol korupsi dan bersekongkol menutupinya. Ada masanya, persekongkolan juga masuk wilayah hukum, mereka “hukum mati satu orang untuk bikin jera yang lain”. Persekongkolan apapun sah demi proteksi kepada kepentingan diktator. Sistem tetap tertutup dan dikuasai segelintir. Itu cara kerja sistem tertutup. Tidak ada transparansi, keadilan dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Sebaliknya, demokrasi percaya pada transparansi. Saya sering sebut sebagai sistem aquarium. Apa kerja aparatur nampak. Demokrasi tidak mengandalkan orang-orang tapi sistem yang bekerja dengan manusia yang datang dan pergi berbagai jenisnya. Itu sebabnya Fukuyama menyebut tentang “man with no chest” karena demokrasi menang tanpa mensyaratkan kualifikasi manusia. Maka, dalam demokrasi, kelembagaan publik adalah jaminan bagi masyarakat, sedangkan dalam sistem tertutup tergantung yang kuasa.
Nah, bagaimana respon untuk mengatasi korupsi dalam situasi transisional seperti kita?
Pertanyaannya, kenapa KPK dibuat dan untuk apa? Ada salah baca karena mandat ini datang dari masa akhir Orde Baru (Orba). Kesadaran kita waktu itu masih pada orang, korupsi is Soeharto dan sebaliknya. Padahal demokrasi bukan soal orang. Sampai sekarang KPK pun terpengaruh bahwa menangkap orang lebih penting daripada perbaikan sistem.
Memang, menangkap orang itu sensasinya luar biasa tapi “going nowhere“. Pekerjaan senyap bagi sistem tidak populer. Kenapa bicara sistem? Karena demokrasi ada 2 sisi. Norma universal di satu sisi tapi prosedur dan institusi di sisi lain. Demokrasi yang sukses ditandai dengan hilangnya institusi adhoc dan menguatnya institusi ini dan sebaliknya. Negara gagal itu diawali oleh banyaknya institusi adhoc dan kaburnya peran institusi ini. Ini yang nampak di kita.
Karena itu, KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi harus tahu akar korupsi itu ada dimana. Akar korupsi itu dalam sistem ada 3: aturan, institusi dan manusia. Manusia hanya belakangan. Bahkan kadang2 korban. Setelah saya baca semua institusi sejenis KPK, yang sukses adalah konsentrasi sistem, bukan sensasi menyadap, memburu, menangkap.
Sekarang kembali ke akar, kritik saya bukan kepada KPK, tapi pimpinannya yang gagal membaca UU 30/2002. Jangan lupa KPK adalah lembaga terkuat dalam lembaga jenisnya. Karena dia punya hak menuntut. Kasarnya, dia polisi, dia jaksa juga. Tentu ada maksud dari penguatan ini, supaya efektif dan transisi kita jangan kelamaan dan mubazir. Maka dikasih pamungkas.
Saya kalau cukup umur (masih 39) dan bisa pimpin KPK, 2 tahun korupsi sudah ketemu akarnya dan 3 tahun selesai semua. UU 30/2002 ini memang luar biasa. Memberikan perasaan dan posisi perkasa secara real. KPK itu superbody. Sifat superbody itu sendiri bertentangan dengan prinsip demokrasi. Coba baca rumus klitgaard (C+M+D-A) yang populer di ICW.
Karena itulah sebabnya KPK harus “sementara”, sebab kalau tidak dia berpotensi merusak sistem. Sayangnya setelah 9 tahun, sifat “sementara” KPK semakin tak nampak, malah ingin buka cabang di mana-mana jadi permanen. Memang karena banyak dukungan, orang tidak lihat lagi ongkosnya. Padahal biayanya mahal sekali untuk hasil yang tidak jelas.
Sekali lagi ini kritik kepada pimpinan KPK, jangan diputar balik. KPK real sebagai terobosan tapi kritik hasil itu kewajiban.
Berikut ini beberapa akibat kelakuan KPK selama ini yang mengindikasikan kerusakan sistem.
Pertama, konsolidasi sistem pengawasan (yudikatif) lemah. Harusnya, sistem pengawasan sebagaimana mandat pasal 6 dan 7 kuat. Kedua, karena kepercayaan kepada KPK disertai ketidakpercayaan kepada lembaga lain dalam mengatasi korupsi. Ketiga, semua laporan korupsi tertuju ke KPK yang SDMnya hanya 500 orang. Sehingga puluhan ribu kasus terbengkalai. Keempat, konflik kepentingan secara telanjang membuat adanya upaya pelemahan KPK yang berakhir koma. Kelima, KPK terseret korupsi. Lihat kasus Century, teganya pimpinan KPK sembunyikan peristiwa pidana yang kasat mata. Kasus Bibit Chandra yang diakhiri Deponeering belum jelas ujungnya. Ini bom waktu yang siap meledak.
Apa bisa kita serahkan urusan negara ini pada penguatan satu institusi? Itulah yang saya katakan di awal. Ini sistem terbuka. Lihat index persepsi korupsi (IPK) kita. Tidak pernah membaik sebab penindakan hampir tidak berpengaruh pada IPK. Anda tahu mengapa? Karena IPK itu soal sistem dan KPK menghajar orang hampir 9 tahun. (@fahrihamzah/#AtasiKorupsi/hdn)
Oleh : Fahri Hamzah
Sumber : Dakwatuna
0 komentar:
Posting Komentar