Masih teringat ketika kami sama-sama berjuang di bangku sekolah. Sikapnya yang tegas membuat kebanyakan orang yakin bahwa ia akan menjadi aset yang tak ternilai di jalan dakwah. Rijalud-da’wah, begitu kata sebagian senior saat itu, ketika sebagian besar di antara kami masih belum paham betul makna kata-kata itu.
Kita tentu tahu bahwa Rasulullah saw. sungguh-sungguh berdoa agar Islam diteguhkan dengan kehadiran orang-orang kuat seperti ‘Umar bin Khattab ra., yang namanya disebutkan secara spesifik dalam doa beliau. Memang benar, salah satu kekuatan besar yang menopang dakwah Islam adalah keperkasaan ‘Umar ra., sebagaimana penilaian Rasulullah saw. Akan tetapi ‘Umar ra. meleburkan ketegasannya dengan kelembutan yang diperolehnya dari Islam. Hasilnya, sejarah mengenang beliau sebagai Amirul Mu’minin yang sangat lembut hati, sangat takut akan melanggar amanah dan besar sekali rasa kasihannya kepada umat. Tegas dan perkasa saja memang tidak cukup.
Ikhwah yang perkasa tadi agaknya lupa memasukkan kelapangan dada dalam hitungan. Ketegasan yang ia perlihatkan ketika memprotes larangan pasfoto berjilbab dan kewajiban memasukkan baju bagi siswi berjilbab digunakan juga ketika berhadapan dengan ketidakidealan teman-teman seperjuangannya. Ia sindir mereka yang sering absen mentoring, ia tegur mereka yang tidak disiplin, ia cemooh mereka yang ragu-ragu kalau harus mendebat guru (karena untuk urusan kebenaran seharusnya tidak ada keraguan), dan ia langsung buang muka ketika berhadapan dengan ikhwan yang kemarin dilihatnya mengobrol akrab dengan seorang akhwat di tempat fotokopian. Meski tak ada aksi gebrak meja atau banting pintu, pada akhirnya ia benar-benar meninggalkan barisan. Ingin berdakwah secara murni, katanya.
Tidaklah heran jika Allah SWT bersumpah dengan masa, karena masa itulah yang akan menunjukkan apa yang kita belum pahami segalanya. Bertahun-tahun waktu bergulir, pada akhirnya waktu juga yang memperlihatkan kesudahan ceritanya. Selepas sekolah, ia yang tadinya pergi meninggalkan barisan karena merasa aspirasi dakwahnya tak terakomodasi, pada akhirnya benar-benar tidak berada dalam barisan dakwah yang mana pun. Ia tetap tegas, tetap tampil perkasa sebagaimana adanya, tetap gigih membela apa yang ia anggap benar, namun aura dakwah telah lama pergi meninggalkannya, karena ia sendiri pergi meninggalkan dakwah. Aktifitasnya semasa kuliah sama sekali tidak berkaitan dengan dakwah, meskipun secara personal ia masih bisa dikategorikan sebagai orang baik. Meskipun pengalaman berorganisasinya segunung, namun ternyata ia masih saja ingat hal-hal yang tidak mengenakkan ketika kita masih berjuang bersama dulu, bahkan ia masih kesal dengan ikhwan yang mengobrol dengan akhwat di tempat fotokopian itu, meskipun sampai lulus keduanya terbukti tak punya hubungan spesial, dan masing-masing kini sudah membina rumah tangga. Tragis, betapa masa muda bisa habis ditelan amarah, jauh di luar barisan dakwah.
Beberapa masa berlalu, waktu tak henti-hentinya mengajari kita. Masih teringat kejadian malam itu, ketika empat orang ikhwah bertemu untuk membicarakan sebuah masalah bisnis. Semestinya, hubungan sesama ikhwah membuat segala urusan bisnis menjadi lebih mudah, karena minimal sudah ada rasa saling percaya di sana. Tapi sejak awal pertemuan digelar, hampir-hampir tidak ada hawa saling percaya yang berhembus.
Terjadilah apa yang semestinya terjadi menurut taqdir Allah SWT. Perdebatan berlangsung alot, karena perjanjian yang sebelumnya telah diteken memang ditafsirkan berbeda oleh kedua belah pihak, karena memang ada kata-kata yang rancu di dalamnya. Namun kontrak sudah terlanjur diteken, tinggallah kini kedua kubu yang tenggelam dalam usahanya memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Lawan harus dibikin kompromi, dan tak ada solusi lain di luar itu.
“Antum jangan ngomong begitu, akh!”, dan lantai pun digebrak dengan keras. Sementara ikhwah yang dibentak, yang kebetulan hatinya lebih lembut, hanya menunduk dan ber-istighfar berulang kali. Sebuah keputusan yang penuh hikmah, karena akhirnya saudaranya yang sedang dikuasai amarah pun menjadi lunak hatinya. Betapa pun, dibentak keras oleh saudara seperjuangan kadang terasa lebih dahsyat daripada petir di siang bolong. Tidak mudah melupakan hal-hal semacam ini. Pada akhirnya, kedua belah pihak saling meminta maaf, dan pertemuan berakhir dengan baik, meskipun ada saja yang mengganjal dalam hati.
Berbagai kisah sedih melengkapi catatan perjalanan ini. Si fulan bertengkar keras dengan si fulan karena pelunasan hutang yang tersendat-sendat, kemudian yang berhutang pergi entah ke mana, meski ia masih terus mencicil hutang-hutangnya dengan mentransfer dana dari jauh. Ia menjadi sulit ditemui orang, tak pernah muncul dalam pengajian, meski konon masih tetap mendukung dakwah. Namun ia merasa begitu malu hingga terus-menerus menghindar dari pergaulan.
Dua orang ikhwah lainnya bertengkar karena tersinggung dengan sedikit kata yang terucap dalam candaan. Minta maaf sudah, berdamai sudah, tapi ukhuwwah itu tak pernah pulih seperti sediakala. Setiap kali ia mendengar nama ikhwah yang telah membuatnya tersinggung, ia hanya buang muka dan berucap ketus, “Ck!” Ketersinggungannya berubah menjadi paranoid, sehingga ia merasa selalu saja dirintangi oleh saudaranya itu. Lama kelamaan menjadi obsesi. Apa pun yang diperbuat oleh saudaranya yang satu itu selalu nampak buruk di matanya. Selalu ada motif tersembunyi. Selalu ada yang bisa dicurigai.
Jika Anda merasa kisah-kisah di atas adalah ‘noda’ dalam barisan dakwah, pikirkanlah lagi. Dahulu, dua sahabat Rasulullah saw. pernah bertengkar keras. Abu Dzar al-Ghifari ra. pun sampai kelepasan menyebut Bilal ra. sebagai anak si hitam. Ketika Rasulullah saw. menegurnya dengan keras, barulah Abu Dzar ra. menyesal bukan kepalang, hingga ia taruh pipinya di atas tanah dan minta Bilal ra. menginjak wajahnya asalkan ia bisa memaafkannya. Pada akhirnya Bilal ra. tak pernah menginjak wajah saudaranya, dan cerita itu berakhir dengan bahagia. Hal-hal yang kita anggap konyol, tidak perlu, tidak etis, tidak profesional dan tidak pantas dilakukan oleh para aktifis dakwah pun pernah terjadi pada generasi sahabat Rasulullah saw. Ingatkah bagaimana Nabi Musa as. dikuasai oleh amarah kepada kaumnya hingga ia menarik rambut Nabi Harun as.? Demikianlah amarah sesaat bisa membuat segala bangunan ukhuwwah yang sudah dibangun lama menjadi rusak. Efeknya bahkan bisa menjadi permanen bila tidak segera ditanggulangi.
Sudahkah Anda mendengar kisah pertengkaran dua orang sahabat paling mulia, yaitu Abu Bakar ra. dan ‘Umar ra.? Suatu hari Abu Bakar ra. datang kepada Rasulullah saw. dan langsung duduk merapat dengannya. Ia bercerita bahwa antara dirinya dan ‘Umar ra. baru saja terjadi pertengkaran. Ia terlanjur marah dan kemudian menyesal. Permintaan maafnya ditolak oleh ‘Umar ra., maka Abu Bakar ra. pun mengadu pada Rasulullah saw. Beliau menenangkan Abu Bakar ra. dengan mengatakan bahwa Allah telah mengampuninya. Setelah Abu Bakar ra. pergi, datanglah ‘Umar ra. menemui Rasulullah saw. yang saat itu sedang menyimpan amarah sehingga nampak jelas pada wajahnya. Beginilah ucapan Rasulullah saw. saat itu: “Sesungguhnya Allah mengutus aku kepada kalian, dan kalian mengatakan ‘Kamu pendusta’, sedangkan Abu Bakar mengatakan ‘Dia orang yang jujur’, dan dia mengorbankan diri dan hartanya!” Sadarlah ‘Umar ra. akan kesalahannya karena telah memperpanjang perselisihan dengan sahabat yang paling dicintai Rasulullah saw. Setelah itu, Abu Bakar ra. tak pernah disakiti lagi.
Kelembutan hati dan kelapangan dada itulah yang harus mengimbangi ketegasan prinsip kita. Sebagian besar kasus rusaknya ukhuwwah di antara kita terjadi bukan karena masalah-masalah prinsipil atau menyangkut hal ‘aqidah, melainkan karena tersinggung, prasangka berlebih, bisnis, hutang dan semacamnya. Banyak orang bisa menguraikan betapa indahnya sikap zuhud dan kemerdekaan diri dari kungkungan harta, namun ketika penghasilannya terancam karena sikap tidak profesional mitra bisnisnya, untuk sesaat hilanglah segala ingatan tentang kebaikan saudaranya. Banyak ikhwah siap hidup miskin namun tak siap melihat saudaranya kaya.
Yang namanya pertengkaran, jika bisa terjadi pada Abu Dzar ra. dan Bilal ra., dan pernah terjadi pula pada Abu Bakar ra. dan ‘Umar ra., maka pastilah kita pun bisa mengalaminya. Siapa saja bisa berbuat salah, berlidah tajam atau lalai dalam amanah. Kekuatan ukhuwwah di antara kita ditentukan oleh seberapa banyak stok maaf yang dapat kita berikan. Kita pun pasti membutuhkan banyak-banyak stok maaf dari orang lain, bukan?
Kita tentu tahu bahwa Rasulullah saw. sungguh-sungguh berdoa agar Islam diteguhkan dengan kehadiran orang-orang kuat seperti ‘Umar bin Khattab ra., yang namanya disebutkan secara spesifik dalam doa beliau. Memang benar, salah satu kekuatan besar yang menopang dakwah Islam adalah keperkasaan ‘Umar ra., sebagaimana penilaian Rasulullah saw. Akan tetapi ‘Umar ra. meleburkan ketegasannya dengan kelembutan yang diperolehnya dari Islam. Hasilnya, sejarah mengenang beliau sebagai Amirul Mu’minin yang sangat lembut hati, sangat takut akan melanggar amanah dan besar sekali rasa kasihannya kepada umat. Tegas dan perkasa saja memang tidak cukup.
Ikhwah yang perkasa tadi agaknya lupa memasukkan kelapangan dada dalam hitungan. Ketegasan yang ia perlihatkan ketika memprotes larangan pasfoto berjilbab dan kewajiban memasukkan baju bagi siswi berjilbab digunakan juga ketika berhadapan dengan ketidakidealan teman-teman seperjuangannya. Ia sindir mereka yang sering absen mentoring, ia tegur mereka yang tidak disiplin, ia cemooh mereka yang ragu-ragu kalau harus mendebat guru (karena untuk urusan kebenaran seharusnya tidak ada keraguan), dan ia langsung buang muka ketika berhadapan dengan ikhwan yang kemarin dilihatnya mengobrol akrab dengan seorang akhwat di tempat fotokopian. Meski tak ada aksi gebrak meja atau banting pintu, pada akhirnya ia benar-benar meninggalkan barisan. Ingin berdakwah secara murni, katanya.
Tidaklah heran jika Allah SWT bersumpah dengan masa, karena masa itulah yang akan menunjukkan apa yang kita belum pahami segalanya. Bertahun-tahun waktu bergulir, pada akhirnya waktu juga yang memperlihatkan kesudahan ceritanya. Selepas sekolah, ia yang tadinya pergi meninggalkan barisan karena merasa aspirasi dakwahnya tak terakomodasi, pada akhirnya benar-benar tidak berada dalam barisan dakwah yang mana pun. Ia tetap tegas, tetap tampil perkasa sebagaimana adanya, tetap gigih membela apa yang ia anggap benar, namun aura dakwah telah lama pergi meninggalkannya, karena ia sendiri pergi meninggalkan dakwah. Aktifitasnya semasa kuliah sama sekali tidak berkaitan dengan dakwah, meskipun secara personal ia masih bisa dikategorikan sebagai orang baik. Meskipun pengalaman berorganisasinya segunung, namun ternyata ia masih saja ingat hal-hal yang tidak mengenakkan ketika kita masih berjuang bersama dulu, bahkan ia masih kesal dengan ikhwan yang mengobrol dengan akhwat di tempat fotokopian itu, meskipun sampai lulus keduanya terbukti tak punya hubungan spesial, dan masing-masing kini sudah membina rumah tangga. Tragis, betapa masa muda bisa habis ditelan amarah, jauh di luar barisan dakwah.
Beberapa masa berlalu, waktu tak henti-hentinya mengajari kita. Masih teringat kejadian malam itu, ketika empat orang ikhwah bertemu untuk membicarakan sebuah masalah bisnis. Semestinya, hubungan sesama ikhwah membuat segala urusan bisnis menjadi lebih mudah, karena minimal sudah ada rasa saling percaya di sana. Tapi sejak awal pertemuan digelar, hampir-hampir tidak ada hawa saling percaya yang berhembus.
Terjadilah apa yang semestinya terjadi menurut taqdir Allah SWT. Perdebatan berlangsung alot, karena perjanjian yang sebelumnya telah diteken memang ditafsirkan berbeda oleh kedua belah pihak, karena memang ada kata-kata yang rancu di dalamnya. Namun kontrak sudah terlanjur diteken, tinggallah kini kedua kubu yang tenggelam dalam usahanya memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Lawan harus dibikin kompromi, dan tak ada solusi lain di luar itu.
“Antum jangan ngomong begitu, akh!”, dan lantai pun digebrak dengan keras. Sementara ikhwah yang dibentak, yang kebetulan hatinya lebih lembut, hanya menunduk dan ber-istighfar berulang kali. Sebuah keputusan yang penuh hikmah, karena akhirnya saudaranya yang sedang dikuasai amarah pun menjadi lunak hatinya. Betapa pun, dibentak keras oleh saudara seperjuangan kadang terasa lebih dahsyat daripada petir di siang bolong. Tidak mudah melupakan hal-hal semacam ini. Pada akhirnya, kedua belah pihak saling meminta maaf, dan pertemuan berakhir dengan baik, meskipun ada saja yang mengganjal dalam hati.
Berbagai kisah sedih melengkapi catatan perjalanan ini. Si fulan bertengkar keras dengan si fulan karena pelunasan hutang yang tersendat-sendat, kemudian yang berhutang pergi entah ke mana, meski ia masih terus mencicil hutang-hutangnya dengan mentransfer dana dari jauh. Ia menjadi sulit ditemui orang, tak pernah muncul dalam pengajian, meski konon masih tetap mendukung dakwah. Namun ia merasa begitu malu hingga terus-menerus menghindar dari pergaulan.
Dua orang ikhwah lainnya bertengkar karena tersinggung dengan sedikit kata yang terucap dalam candaan. Minta maaf sudah, berdamai sudah, tapi ukhuwwah itu tak pernah pulih seperti sediakala. Setiap kali ia mendengar nama ikhwah yang telah membuatnya tersinggung, ia hanya buang muka dan berucap ketus, “Ck!” Ketersinggungannya berubah menjadi paranoid, sehingga ia merasa selalu saja dirintangi oleh saudaranya itu. Lama kelamaan menjadi obsesi. Apa pun yang diperbuat oleh saudaranya yang satu itu selalu nampak buruk di matanya. Selalu ada motif tersembunyi. Selalu ada yang bisa dicurigai.
Jika Anda merasa kisah-kisah di atas adalah ‘noda’ dalam barisan dakwah, pikirkanlah lagi. Dahulu, dua sahabat Rasulullah saw. pernah bertengkar keras. Abu Dzar al-Ghifari ra. pun sampai kelepasan menyebut Bilal ra. sebagai anak si hitam. Ketika Rasulullah saw. menegurnya dengan keras, barulah Abu Dzar ra. menyesal bukan kepalang, hingga ia taruh pipinya di atas tanah dan minta Bilal ra. menginjak wajahnya asalkan ia bisa memaafkannya. Pada akhirnya Bilal ra. tak pernah menginjak wajah saudaranya, dan cerita itu berakhir dengan bahagia. Hal-hal yang kita anggap konyol, tidak perlu, tidak etis, tidak profesional dan tidak pantas dilakukan oleh para aktifis dakwah pun pernah terjadi pada generasi sahabat Rasulullah saw. Ingatkah bagaimana Nabi Musa as. dikuasai oleh amarah kepada kaumnya hingga ia menarik rambut Nabi Harun as.? Demikianlah amarah sesaat bisa membuat segala bangunan ukhuwwah yang sudah dibangun lama menjadi rusak. Efeknya bahkan bisa menjadi permanen bila tidak segera ditanggulangi.
Sudahkah Anda mendengar kisah pertengkaran dua orang sahabat paling mulia, yaitu Abu Bakar ra. dan ‘Umar ra.? Suatu hari Abu Bakar ra. datang kepada Rasulullah saw. dan langsung duduk merapat dengannya. Ia bercerita bahwa antara dirinya dan ‘Umar ra. baru saja terjadi pertengkaran. Ia terlanjur marah dan kemudian menyesal. Permintaan maafnya ditolak oleh ‘Umar ra., maka Abu Bakar ra. pun mengadu pada Rasulullah saw. Beliau menenangkan Abu Bakar ra. dengan mengatakan bahwa Allah telah mengampuninya. Setelah Abu Bakar ra. pergi, datanglah ‘Umar ra. menemui Rasulullah saw. yang saat itu sedang menyimpan amarah sehingga nampak jelas pada wajahnya. Beginilah ucapan Rasulullah saw. saat itu: “Sesungguhnya Allah mengutus aku kepada kalian, dan kalian mengatakan ‘Kamu pendusta’, sedangkan Abu Bakar mengatakan ‘Dia orang yang jujur’, dan dia mengorbankan diri dan hartanya!” Sadarlah ‘Umar ra. akan kesalahannya karena telah memperpanjang perselisihan dengan sahabat yang paling dicintai Rasulullah saw. Setelah itu, Abu Bakar ra. tak pernah disakiti lagi.
Kelembutan hati dan kelapangan dada itulah yang harus mengimbangi ketegasan prinsip kita. Sebagian besar kasus rusaknya ukhuwwah di antara kita terjadi bukan karena masalah-masalah prinsipil atau menyangkut hal ‘aqidah, melainkan karena tersinggung, prasangka berlebih, bisnis, hutang dan semacamnya. Banyak orang bisa menguraikan betapa indahnya sikap zuhud dan kemerdekaan diri dari kungkungan harta, namun ketika penghasilannya terancam karena sikap tidak profesional mitra bisnisnya, untuk sesaat hilanglah segala ingatan tentang kebaikan saudaranya. Banyak ikhwah siap hidup miskin namun tak siap melihat saudaranya kaya.
Yang namanya pertengkaran, jika bisa terjadi pada Abu Dzar ra. dan Bilal ra., dan pernah terjadi pula pada Abu Bakar ra. dan ‘Umar ra., maka pastilah kita pun bisa mengalaminya. Siapa saja bisa berbuat salah, berlidah tajam atau lalai dalam amanah. Kekuatan ukhuwwah di antara kita ditentukan oleh seberapa banyak stok maaf yang dapat kita berikan. Kita pun pasti membutuhkan banyak-banyak stok maaf dari orang lain, bukan?
0 komentar:
Posting Komentar