Jakarta - Berbekal slogan baru 'Bekerja untuk Indonesia', Partai Keadilan Sejahtera mencanangkan target masuk 3 besar pada Pemilu 2014 yang akan datang. Sekadar kilas balik singkat, pada pemilu 2009 lalu secara berurutan Partai Demokrat memperoleh 20,8% suara, Partai Golkar 14,5 % suara, PDIP 14,1%, serta PKS sendiri 7,9% suara. Berdasar target yang telah dicanangkan oleh PKS pada Mukernas Yogya yang berlangsung akhir bulan ini, berarti PKS harus menggeser atau menggerus salah satu dari 3 partai sebelumnya, Demokrat, Golkar atau PDIP.
Berbeda dengan partai Islam atau partai berbasis massa Islam lainnya, PKS tampaknya mengambil pendekatan strategi yang berbeda. Saat partai Islam lainnya cenderung mengambil pendekatan strategi 'kanibalistik', seperti yang ditunjukkan baru-baru saja saat PPP berseteru dengan PKB karena berebut Kiai-Kiai berpengaruh, PKS justru melirik segmen pemilih yang lebih luas. PKS sepertinya tidak berminat untuk menggerus basis massa pemilih Islam yang secara tradisionil memang dilakukan oleh partai Islam lainnya dari masa ke masa. Menurut saya, selain ingin keluar dari sindrom partai menengah ke partai besar, PKS ingin mematahkan stigma bahwa untuk menang, sebuah partai Islam harus memainkan strategi zero sum game dengan partai Islam lainnya.
Perubahan Struktur Demografis dan Pilihan Strategi
Bagaimana kita memahami pilihan strategi PKS? Tampaknya pilihan slogan baru PKS 'Bekerja untuk Indonesia', bukanlah tema yang lahir secara kebetulan. Tema ini lahir dari tuntutan lingkungan strategis serta evolusi internal PKS untuk menghadapi tentutan tersebut. Tema Bekerja untuk Indonesia mengindikasikan bahwa PKS melihat pemilih 2014 nanti adalah pemilih yang rasional. Artinya pilihan yang dijatuhkan atas sebuah partai politik lebih karena pertimbangan cost and benefit, bukan lagi karena pertimbangan emosional atau bahkan pertimbangan primordial semata. Singkatnya partai akan dipilih karena superioritas program dan manfaat.
Asumsi ini dapat dipahami karena dua perkembangan situasi strategis jelang pemilu 2014. Pertama, pemilu 2014 akan minim figur. Berbeda dengan dua pemilu sebelumnya, 2004 dan 2009, tampaknya partai-partai yang bertarung akan kekurangan figur kharismatis yang menjadi daya tarik bagi pemilih. PKB tidak lagi memiliki Gus Dur. PDIP dan PAN belum mampu menemukan psosok pengganti Megawati serta Amin Rais. Dan Susilo Bambang Yudhoyono jelas-jelas tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai presiden.
Artinya Partai Demokrat akan kehilangan magnet besar bahkan untuk sekadar mempertahankan perolehan suara di 2014 nanti. Konsekuensinya, pertarungan 2014 cenderung egaliter dan lebih merupakan pertarungan mesin politik partai. Bukan lagi pertarungan antar tokoh kharismatis.
Kedua, pergeseran demografis urban-rural. Asumsi bahwa masyarakat akan cenderung rasional dan pragmatis juga didukung oleh data demografis termutakhir. Data menunjukkan ada pergeseran level urbanisasi di Indonesia1. Pada tahun 1971 ada 17,4% penduduk urban di Indonesia. Secara konsisten porsi tersebut terus meningkat menjadi 22,3% pada tahun 1980, 30,9% pada tahun 1990, 42% pada tahun 2000, dan diprojeksikan menjadi 54,2% pada 2010 ini. Sehingga hampir dipastikan pada 2014 nanti tentu angka penduduk urban atau perkotaan jelas lebih tinggi daripada saat ini.
Perubahan situasi demografis ini sangat menguntungkan PKS. Mengapa? Karena data-data pemilu sebelumnya menunjukkan PKS umumnya lebih diterima oleh masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan ditandai dengan besaran masyarakat menengah baik secara ekonomi maupun pendidikan. Ini berarti ada kesesuaian antara karakter kader PKS, pilihan strategi serta perubahan karakter pemilih.
Tentu saja analisa ini tidak menunjukan bahwa PKS pasti sukses mencapai target yang telah dicanangkan. Sejalan dengan momentum perkembangan karakter dan situasi pemilih pada 2014 nanti, PKS harus mampu membuktikan bahwa kerja mereka akan sebanding dengan pilihan slogan yang PKS ajukan. Bila tidak, meminjam kata Presiden SBY, tentu semuanya hanya akan menjadi pepesan kosong.
*) Rico Marbun adalah peneliti The Future Institute, Staf Pengajar Univ Paramadina & PTIK. E-mail: ricoui@yahoo.com
Berbeda dengan partai Islam atau partai berbasis massa Islam lainnya, PKS tampaknya mengambil pendekatan strategi yang berbeda. Saat partai Islam lainnya cenderung mengambil pendekatan strategi 'kanibalistik', seperti yang ditunjukkan baru-baru saja saat PPP berseteru dengan PKB karena berebut Kiai-Kiai berpengaruh, PKS justru melirik segmen pemilih yang lebih luas. PKS sepertinya tidak berminat untuk menggerus basis massa pemilih Islam yang secara tradisionil memang dilakukan oleh partai Islam lainnya dari masa ke masa. Menurut saya, selain ingin keluar dari sindrom partai menengah ke partai besar, PKS ingin mematahkan stigma bahwa untuk menang, sebuah partai Islam harus memainkan strategi zero sum game dengan partai Islam lainnya.
Perubahan Struktur Demografis dan Pilihan Strategi
Bagaimana kita memahami pilihan strategi PKS? Tampaknya pilihan slogan baru PKS 'Bekerja untuk Indonesia', bukanlah tema yang lahir secara kebetulan. Tema ini lahir dari tuntutan lingkungan strategis serta evolusi internal PKS untuk menghadapi tentutan tersebut. Tema Bekerja untuk Indonesia mengindikasikan bahwa PKS melihat pemilih 2014 nanti adalah pemilih yang rasional. Artinya pilihan yang dijatuhkan atas sebuah partai politik lebih karena pertimbangan cost and benefit, bukan lagi karena pertimbangan emosional atau bahkan pertimbangan primordial semata. Singkatnya partai akan dipilih karena superioritas program dan manfaat.
Asumsi ini dapat dipahami karena dua perkembangan situasi strategis jelang pemilu 2014. Pertama, pemilu 2014 akan minim figur. Berbeda dengan dua pemilu sebelumnya, 2004 dan 2009, tampaknya partai-partai yang bertarung akan kekurangan figur kharismatis yang menjadi daya tarik bagi pemilih. PKB tidak lagi memiliki Gus Dur. PDIP dan PAN belum mampu menemukan psosok pengganti Megawati serta Amin Rais. Dan Susilo Bambang Yudhoyono jelas-jelas tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai presiden.
Artinya Partai Demokrat akan kehilangan magnet besar bahkan untuk sekadar mempertahankan perolehan suara di 2014 nanti. Konsekuensinya, pertarungan 2014 cenderung egaliter dan lebih merupakan pertarungan mesin politik partai. Bukan lagi pertarungan antar tokoh kharismatis.
Kedua, pergeseran demografis urban-rural. Asumsi bahwa masyarakat akan cenderung rasional dan pragmatis juga didukung oleh data demografis termutakhir. Data menunjukkan ada pergeseran level urbanisasi di Indonesia1. Pada tahun 1971 ada 17,4% penduduk urban di Indonesia. Secara konsisten porsi tersebut terus meningkat menjadi 22,3% pada tahun 1980, 30,9% pada tahun 1990, 42% pada tahun 2000, dan diprojeksikan menjadi 54,2% pada 2010 ini. Sehingga hampir dipastikan pada 2014 nanti tentu angka penduduk urban atau perkotaan jelas lebih tinggi daripada saat ini.
Perubahan situasi demografis ini sangat menguntungkan PKS. Mengapa? Karena data-data pemilu sebelumnya menunjukkan PKS umumnya lebih diterima oleh masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan ditandai dengan besaran masyarakat menengah baik secara ekonomi maupun pendidikan. Ini berarti ada kesesuaian antara karakter kader PKS, pilihan strategi serta perubahan karakter pemilih.
Tentu saja analisa ini tidak menunjukan bahwa PKS pasti sukses mencapai target yang telah dicanangkan. Sejalan dengan momentum perkembangan karakter dan situasi pemilih pada 2014 nanti, PKS harus mampu membuktikan bahwa kerja mereka akan sebanding dengan pilihan slogan yang PKS ajukan. Bila tidak, meminjam kata Presiden SBY, tentu semuanya hanya akan menjadi pepesan kosong.
*) Rico Marbun adalah peneliti The Future Institute, Staf Pengajar Univ Paramadina & PTIK. E-mail: ricoui@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar